c'mon comrade

Friday, May 20, 2011

Langit Hitam




"Langit tak lagi hitam, kak”
ucapmu dengan suara ditekan supaya meyamarkan kesedihan.

“lantas?”

“Hmm…”

“apa sekarang kau menyukai langit biru marine, lazuardi, aqua, tosqha, atau biru tua?” aku tanyakan dengan menyebutkan biru-biru pilihan.

“apa saja, selain hitam..!” sambarmu cepat.

Jawaban tidak jujurmu memaksaku tersenyum. Geli rasanya ketika kau mendapati seseorang membohongi dirinya sendiri, akan tetapi disaat yang sama kau bisa melihat efek tidak jujur itu di wajahnya. “Tapi hitam itu bagus menurutku” mulailah aku menggodamu. “Warnanya netral. Kau bisa memadu-madankan warna apa saja padanya. Bahkan ketika langit mulai gelap, menghitam, kau akan jelas melihat bentuk bintang, menatap rupa bulan, dan memandang-mandangi semburan kilaunya. Pasti,”

“pokoknya aku tidak suka langit hitam, baik disaat mendung tiba ataupun disaat malam menjelma..!! titik..!”.

Berang, kau memangkas ucapanku yang belum selesai. Padahal dulu kau begitu memuja langit hitam. Tak pernah kau lewatkan pesonanya. Sekarang, warna langit berubah. Memudar atau boleh juga kusebut luntur. Kau memaksa langit selalu biru, abu-abu, ataupun kuning, yang penting asal tidak hitam. Kau benci setiap malam tiba. Kau kunci pintu rapat-rapat, kau tutup jendela, kau tambal celah yang sedikit menganga, agar langit hitam tak tampak oleh mata.

Tak heran aku dengan perangaimu itu. Sebab, begitulah jika yang dicinta tak membalas cinta. Apa yang tadinya dipandang indah, menjadi memuakkan, buruk bukan buatan. Memang, cinta dapat merubah segala. Bahkan kudengar-dengar, karena cinta, ada yang sampai pindah agama. Apalah kawin lari, sudah cerita biasa. Ini, pindah agama kawan. Namun, ada pula sampai bunuh diri. Tak terbayangkan olehku. Aihh.., pengaruh cinta ternyata cukup mengerikan.

Aku tahu, kau masih kecewa bahkan hingga detik aku menulis cerita ini. Menurutku, sejak kau mengenal rasa cinta, orang itulah hinggap di hatimu kali pertama. Dia, si lelaki pencinta langit hitam, mahasiswa senior di kampus, orator dari satu organisasi ternama, dan pemuja Imam Ali. Dia, si langit hitam, yang telah mencuri hatimu saat ia menjelaskanmu tentang Negara dan pemerintahannya. Dia juga yang menyapa dan tersenyum indah padamu saat hendak sembahyang di mushalla kampus. Dan dia pula yang selama ini mengisi harimu. Pastilah cukup sulit untuk melupakan. Masih terasa perih nan tak tertanggungkan itu, menggeletar sepanjang waktu.

Ketika kutanyakan apa sudah pernah menjalin hubungan, jawabmu, satu rasa pun belum terwujudkan. “tapi aku selalu rindu dia” ucapmu pelan. “si lelaki itu juga sudah tahu perasaanku meski belum ku ungkapkan” belamu sengit.

Entah masalah apa ini disebut, aku pun tak mengerti. Awalnya kau hanya kagum dengan lelaki bergelar langit hitam itu. Lelaki yang kemudian berprofesi sebagai dosen honor di kampusmu. Ia cerdas, cool, dan sederhana. Katamu lagi, langit hitam itu mempesona. Kemudian, kekaguman menjelma menjadi keinginan berkepanjangan. Hingga suatu ketika lelaki itu pergi sekolah ke luar negeri, kau masih menaruh hati. Tak pernah lelah merindu, berharap bisa bersatu. Pernah kau merasa sakit dan menangis, pernah juga kau merasa bahagia. Namun terkadang kau terdiam, kemudian tersenyum sendirian. Sungguh, telah ku pikir-pikirkan masalah ini, tapi tak kutemukan jawaban, penyakit apa yang sedang bersarang di tubuhmu. Marah, menangis, bahagia, untuk alasan yang kau sendiri pun sebenarnya tak mengerti. Apalagi aku, yang hanya mendengar keluh kesah mu saja.

“Langit, baik hitam atau biru, sama saja indahnya. Tergantung caramu menikmatinya. Jika dulu kau menikmati hitam, sekarang setelah kau kecewa, teruslah mengikuti irama warnanya. Jangan kau paksa langit selalu biru karena kau tak lagi menyukai hitamnya. Itu sama saja kau meminta agar cepat kiamat. Aku tak setuju. Sebab aku masih punya banyak rencana sebelum Isrofil meniup sangkakala sebagai pertanda kiamat di depan mata. Salah satunya, menikah. Sebab aku tak sanggup jika sendirian, menjadi seperti Rabiatul Adawiyah. Kau tentu paham maksudku, oh tidak, kalimatnya adalah kau harus paham maksudku..!” kuralat bicaraku agar lebih mudah kau mengerti.

“Tak perlu kau padam-padamkan rindu itu!” jawabku saat melihat kau akan membuka mulut untuk beretorika tanpa konsideran melawan bicaraku. “kau pasti mampu. Hanya saja, kau terlalu sentimentil menghadapi masalah hidup. Kalau terus seperti ini, hidup akan menabrakmu. Tapi kau bisa memilih, berhenti disini atau melangkah kembali”

“untuk mencintainya meski ia tak mencintaiku? Terus mengharapkannya meski aku tahu bahwa ia sudah ada yang punya? Terus meminta pada Tuhan agar menghipnotisnya dan dengan begitu ia akan memilihku?”

“tentu bukan begitu maksudku. Tapi, kau bisa coba membuka hatimu untuk yang lain. Tidak hari ini juga. Mungkin besok, minggu depan, bulan depan, atau kapan saja”

Kau tersenyum getir. “mungkin nanti” jawabmu singkat lalu membuang pandang ke jalan yang ramai dilintasi bermacam ragam kendaraan.

Aku tahu, kau masih belum bisa untuk tidak mengingatnya. Sebab langit hanya berwarna hitam buatmu. Dan pemikiran itu membekas lama sekalipun kita pernah bertengkar gara-gara pengamatan yang kuungkapkan padamu, bahwa ketika hujan turun menghujam, tak selamanya langit harus hitam. Contohnya semalam siang saat aku mau ke kantor. Hujan turun dengan derasnya. Namun di atas sana, warna langit masih biru, tetap cerah seperti kala ia muncul pagi tadi. Dan aku telah menunjukkan foto langit itu padamu.

Reaksimu, diam dan masih enggan bicara padaku.

Tak apa. Semua akan baik-baik saja. Aku yakin, kelak, kau akan mulai menyukai langit biru. Atau, ku rekomendasikan kau agar bermain dengan langit senja, kau akan melihat semburat merah bercampur keemasan, begitu melenakan. Kupikir, lebih mempesona dari langit hitam.

Luv

Na

*cerpen dimuat di tabloid youngs medan, tabloid remaja youngs medan

0 komentar:

Post a Comment

 
Free Host | lasik eye surgery | accountant website design