c'mon comrade

Friday, December 30, 2011

Bab Akhir Cerita Langit

Kedekatan kami berawal dari Partai Gerindra. Bisa dibilang fighter setia. Sebab kami membentuk, membangun dan mengembangkan partai yang dikomandoi oleh Prabowo Subianto ini ke arah lebih baik, solid, dengan gegap gempita dan suara membahana di Sumatera Utara.

Kami lebih sering bertatap muka dalam skope pekerjaan tentu saja. Saya sebagai pengurus Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Sumatera Utara, dan beliau bercokol di Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Tebing Tinggi. Otomatis saya disibukkan dengan urusan surat-surat, spanduk, baju kaos, buku saku AD/ART, bendera, hingga hal-hal terkecil seperti nomor telepon dan alamat pengurus-pengurus partai di 28 kabupaten/kota se-Sumatera Utara.

Berhubung di awal pendirian Gerindra saya dalah perempuan tercantik (kala itu saya perempuan sendiri, sisanya lelaki politisi yang juga penggombal sejati), katanya, ia lebih bahagia berurusan dengan saya.

“kalau berurusan dengan Dinna itu lebih enak. Karena lebih teliti, cepat, rapi dan disiplin”, ujarnya ketika saya mencari SK DPC Tebing Tinggi di tumpukan file cabinet. “kalau Dinna gak ada, abang defend lah semua urusan”

“gak dirayupun Dinna akan tetap membereskan semua keperluan DPC TebingTinggu” jawabku sedikit tak peduli sembari masih tenggelam dalam kesibukan.

“sumpah Dinn. Abang gak menggombal”.

“oh, SK-nya ada nih” saya mengalihkan pembicaraan. Lagipula SK DPC Tebingtinggi sudah ada di tangan saya. “Hendrik Pulungan, Ketua DPC Partai Gerindra TebingTinggi, dan semua nama yang tertera di bawahnya sesuai dengan usulan pergantian kepengurusan baru kemarin”.

Beliau, bang Hendrik Pulungan, mengambil SK revisi dari tanganku. Ia mengamati SK tersebut sambil manggut-manggut. Sesekali ia tersenyum, namun sejurus kemudian dahinya berkerut.

“ada pertanyaan, keluhan atau keberatan?” tanyaku.

“oh, nggak Dinn. Cuma sedikit saja. Di depan nama abang kok gak ditaruh titel nya ya?”

“titel apaan? Insinyur atau Sarjana gitu?"

“bukan. Tapi Haji”.

Saya terkesiap mendengar pengakuannya. “ini serius apa bercanda sih bang? Dinna juga sudah naik Haji tapi di SK titel itu sengaja tidak Dinna letakkan”.

“bercanda kok. Jangan diambil hati ya Dinn” ujarnya sambil tetawa. Entah dimana lucunya, ia tertawa bahagia sampai susah berhenti. Setelah itu ia menyodorkan lemang dan kue kacang khas Tebingtinggi pada saya. “buat Dinna, bukan sogokan, tapi karena telah banyak membantu abang selama ini”.

Memang, semua urusan administrasi diserahkan oleh pimpinan pada saya, dimana saya juga merangkap jabatan sebagai bendahara. Repot juga, tapi demi tugas dan tanggungjawab, saya senang-senang saja melaksanakan keduanya. Capek sudah pasti, tapi karena mengingat ini jalan saya, maka saya melakukannya dengan suka hati. Apalagi ketika beliau datang, saya selalu disuguhi lemang (penganan yang terbuat dari pulut) dn kue kacang. Bertambah ringanlah pekerjaan saya.

Tak banyak cerita antara saya dan beliau. Kedekatan kami biasa saja, sama halnya dengan fungsionaris partai lainnya. Namun saya sangat hormat dengan bang Hendrik. Beliau adalah sosok sederhana, low profile kalau orang Inggris bilang. Beliau juga ramah, santai, suka berkelakar, bersifat tangan di atas, dan cukup relijius. Kekurangannya hampir tidak ada. Begitupun, komentar saya ini tidak jauh berbeda dengan kawan-kawan di ranah politisi dalam dan lintas partai.

Istri beliau juga ramah, baik dan menyenangkan. Ketulusan yang mereka berikan terpancar dari seluruh anggota keluarga. Saya merasakannya sewaktu sosialisasi ke simpatisan di Tebingtinggi, saya dan beberapa fungsionaris Gerindra meyempatkan diri bertandang ke rumah beliau. Sungguh, beliau adalah cerminan orangtua yang peduli dan dekat pada keluarga.

Dan sampailah saya pada bisik-bisik tetangga, bahwa mesjid yang berdiri tak jauh dari rumah beliau adalah mesjid umum yang sebagian besarnya dibangun dari ‘hasil keringat’ beliau. Perkara beliau mendapat uang darimana, saya tidak tahu dan tak mau tahu. Sebab penilaian amal ibadah adalah hak Allah. Bukti tersebut saja sudah cukup bagi saya bahwa ada tersimpan butir-butir kebaikan dalam diri beliau.

Meski begitu, tak sedikit kabar miring mengalir pada beliau. Tentang beliau yang serakah kekuasaan, hobi menukar-ganti pengurus, tidak tegas, tidak peduli dan lain sebagainya. Kodratnya demikian. Semakin tinggi pohon, maka semakin kencang angin menerpa. Biarlah selentingan tersebut pupus dihapus embun pagi.

Tiga hari lalu, saya ditelpon oleh bang Hasan Basri, mantan ketua DPC Partai Gerindra Pematang Siantar. “assalamualaikum Dinn, bang Hendrik Pulungan meninggal kemarin sore. Tidak sakit, tapi beliau meninggal tiba-tiba.Tolong dikabarkan pada kawan-kawan yang lain ya” tergagap bang Hasan Basri mewartakan berita kepergian itu. Tak sempat saya menata hati, bang Hasan pun menutup telpon meninggalkan saya dalam diam.

Sedih rasanya ketika mengetahui bahwa bang Hendrik telah pergi. Saya tak percaya, namun kenyataan berbicara. Semua kenangan tentang beliau, satu demi satu kembali menjelma. Belum usang. Sebab saya adalah pengingat yang baik. Laku beliau terjalin rapi dalam sel saraf, membentuk simpul dan terikat erat. Saya tahu Allah lebih sayang pada beliau.

Cerita langit telah sampai pada bab terakhir. Sosok berkelakar dan sederhana itu telah pergi kini. Meninggalkan sekelumit kisah singkat yang indah.

Selamat jalan bang H. Hendrik Pulungan. Semoga Allah memberi sebaik-baik tempat, dan selalu mencurahkan rahmatNya pada keluarga yang ditinggalkan. Saya, kami semua, menyayangi bang Hendrik..

Tuesday, December 20, 2011

Karena Sayang

Hai desember…

Long time not share…

Bukan sengaja melupakan, hanya saja Dell mengulah lagi sehingga tak sempat menuliskan. Oh, sekarang saya di warnet depan rumah, berburu waktu agar nominal billing tak banyak bertambah. Tentunya, godaan terberat saja adalah Nancy Ajram dengan suaranya yang centil dan melenakan, disertai goyangan belly dance yang aduhai, lumayan menggoda iman hingga sering saya tak sadar bergoyang sendirian.

Dari banyak kisah, telah saya pilih pilah, inilah cerita pertama saya untuk tengah Desember. Cerita istimewa dari berpuluh kisah dalam kepala dimana semuanya menyeruak ingin tampil ke permukaan. Boleh-boleh saja jika telah membacanya, sebagian orang akan mengatakan biasa saja. Komentar apapun itu, saya selalu siap menerimanya bahkan sebelum lahirnya tulisan-tulisan saya. Sebab saya percaya hukum popularitas seorang penulis bahwa, tulisan akan menemukan nasibnya sendiri.

Well, read it out mate…

Buku yang sedang saya baca saat ini adalah Catatan Hati Seorang Istri (CHSI), salah satu karya best seller-nya Asma Nadia. Sebenarnya buku ini biasa saja. Berkisah tentang perempuan-perempuan dalam menjalani lika-liku kehidupan keluarga. Bagaimana mereka menghadapi perceraian, sabar ketika mendapati sikap suami yang berubah 180 derajat, dan berbagai kisah lainnya. Haru, seru, dan menyenangkan. Well, saya cukupkan saja sampai di sini, sebab saya bukan hendak men-sinopsis buku ini. Hanya intermezzo saja, agar cerita selanjutnya lebih mudah dicerna.

Bukan termasuk buku favorit sih, tapi saya suka membaca pengalaman demi pengalaman yang mereka tuangkan dalam sebuah tulisan. Sudah dua kali buku ini saya baca. Selain bahasa dan tutur katanya indah, saya juga bisa belajar mem-planning ‘keluarga’ saya kelak, meskipun rencana selalu jauh berbeda dari wujud nyata.

Kemudian, datanglah sosok yang ‘hobi’ mengkritik. Beliau, ayah saya. Ada saja hal yang ia bantah terlebih pasal pilihan hidup. Padahal sejak zaman nabi Adam, sah-sah saja orang berbeda pilihan sekalipun masih dalam 1 klan.

“buku apa nih?” Ayah membolak-balik buku CHSI yang saya letakkan di atas meja. Pandangannya sinis, bibirnya mengerucut, kemudian keluarlah keritikan pedas yang pedasnya melebihi sambil terasi. “buku yang dibaca tuh harus yang berbobot, bukan yang beginian” ujarnya seraya melempar buku tersebut ke atas meja. “gak menambah pengetahuan!”

Ya, begitu saja. Kalau saja ia orang lain, ingin rasanya meninju wajahya sampai lebam. Sayangnya, pada siapupn perlakuan kasar itu tak dibolehkan. Saya hanya tersenyum dan berusaha tenang di depan ayah. Sebab tak hanya buku CHSI saja yang pernah beliau kritik. Kalau tidak salah, ada 10 buku yang pernah ia komentari. Ada saja komentar yang ia lontarkan. Mulai dari pengarang, cover, judul, halaman, terlebih lagi isi.

“Buku itu hadiah dari kawan lama, ayah”. Dengan berat hati sebenarnya saya mengucapkan kalimat bohong barusan. “ Jadi selagi gratis, tampung saja lah. Untuk koleksi”.

Ayah tak bergeming, kemudian berlalu pergi.

Ucapan ayah saya buang ke tong sampah meski jauh di lubuk hati sempat hadir rasa marah. Bisa saja saya menggunakan kalimat keras pada ayah. Karena itu buku saya, saya yang membeli, saya yang memiliki, otomatis, sayalah yang berhak memperlakukan buku tersebut semau saya. Tidak seorangpun yang boleh mendzolimi hak saya selagi itu tak mengganggu dirinya dan khalayak ramai. Bisa saja saya mempertahankan ego, utuk membela buku tersebut mati-matian demi harga diri, dan demi memperjuangkan prinsip bahwa saya tidak suka dizholimi.

Namun hak akan gugur dengan sendirinya jika kau berhadapan dengan prinsip menyenangkan orang tua.

Karena saya sayang ayah. Beliau lah penuntun lembar pertama kehidupan saya, setelah emak tentu saja. Beliau mengajarkan saya banyak hal. Beliau memaksa saya untuk selalu berpikiran ‘cerdas dan kaya’. Beliau pula yang menyadarkan saya untuk banyak membaca. Sehingga saya sampai pada kesimpulan, apalah arti sebuah buku jika kemudian saya hanya menyakiti perasaan ayah, meski beliau berada pada posisi SALAH. Apalagi, tak guna memperdebatkan hal remeh temeh yang tak begitu berpengaruh dalam gerak dan langkah.

Tapi bukan berarti saya dan ayah tak pernah berselisih paham. Ada saat dimana saya dan ayah bersitegang urat leher tentang analisis politik dan pemerintahan, tentang prinsip agama, juga tentang menentukan sikap membela Angelina Sondakh atau Nazaruddin. Namun tetap saja saya lebih banyak menekan ego berdiri lebih tinggi.

Ini memang tentang rasa dan kebebasan berpendapat, kawan. Tapi bagi saya jika berhadapan dengan orang tua, lebih utama adalah penghormatan.

 
Free Host | lasik eye surgery | accountant website design