c'mon comrade

Friday, December 30, 2011

Bab Akhir Cerita Langit

Kedekatan kami berawal dari Partai Gerindra. Bisa dibilang fighter setia. Sebab kami membentuk, membangun dan mengembangkan partai yang dikomandoi oleh Prabowo Subianto ini ke arah lebih baik, solid, dengan gegap gempita dan suara membahana di Sumatera Utara.

Kami lebih sering bertatap muka dalam skope pekerjaan tentu saja. Saya sebagai pengurus Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Sumatera Utara, dan beliau bercokol di Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Tebing Tinggi. Otomatis saya disibukkan dengan urusan surat-surat, spanduk, baju kaos, buku saku AD/ART, bendera, hingga hal-hal terkecil seperti nomor telepon dan alamat pengurus-pengurus partai di 28 kabupaten/kota se-Sumatera Utara.

Berhubung di awal pendirian Gerindra saya dalah perempuan tercantik (kala itu saya perempuan sendiri, sisanya lelaki politisi yang juga penggombal sejati), katanya, ia lebih bahagia berurusan dengan saya.

“kalau berurusan dengan Dinna itu lebih enak. Karena lebih teliti, cepat, rapi dan disiplin”, ujarnya ketika saya mencari SK DPC Tebing Tinggi di tumpukan file cabinet. “kalau Dinna gak ada, abang defend lah semua urusan”

“gak dirayupun Dinna akan tetap membereskan semua keperluan DPC TebingTinggu” jawabku sedikit tak peduli sembari masih tenggelam dalam kesibukan.

“sumpah Dinn. Abang gak menggombal”.

“oh, SK-nya ada nih” saya mengalihkan pembicaraan. Lagipula SK DPC Tebingtinggi sudah ada di tangan saya. “Hendrik Pulungan, Ketua DPC Partai Gerindra TebingTinggi, dan semua nama yang tertera di bawahnya sesuai dengan usulan pergantian kepengurusan baru kemarin”.

Beliau, bang Hendrik Pulungan, mengambil SK revisi dari tanganku. Ia mengamati SK tersebut sambil manggut-manggut. Sesekali ia tersenyum, namun sejurus kemudian dahinya berkerut.

“ada pertanyaan, keluhan atau keberatan?” tanyaku.

“oh, nggak Dinn. Cuma sedikit saja. Di depan nama abang kok gak ditaruh titel nya ya?”

“titel apaan? Insinyur atau Sarjana gitu?"

“bukan. Tapi Haji”.

Saya terkesiap mendengar pengakuannya. “ini serius apa bercanda sih bang? Dinna juga sudah naik Haji tapi di SK titel itu sengaja tidak Dinna letakkan”.

“bercanda kok. Jangan diambil hati ya Dinn” ujarnya sambil tetawa. Entah dimana lucunya, ia tertawa bahagia sampai susah berhenti. Setelah itu ia menyodorkan lemang dan kue kacang khas Tebingtinggi pada saya. “buat Dinna, bukan sogokan, tapi karena telah banyak membantu abang selama ini”.

Memang, semua urusan administrasi diserahkan oleh pimpinan pada saya, dimana saya juga merangkap jabatan sebagai bendahara. Repot juga, tapi demi tugas dan tanggungjawab, saya senang-senang saja melaksanakan keduanya. Capek sudah pasti, tapi karena mengingat ini jalan saya, maka saya melakukannya dengan suka hati. Apalagi ketika beliau datang, saya selalu disuguhi lemang (penganan yang terbuat dari pulut) dn kue kacang. Bertambah ringanlah pekerjaan saya.

Tak banyak cerita antara saya dan beliau. Kedekatan kami biasa saja, sama halnya dengan fungsionaris partai lainnya. Namun saya sangat hormat dengan bang Hendrik. Beliau adalah sosok sederhana, low profile kalau orang Inggris bilang. Beliau juga ramah, santai, suka berkelakar, bersifat tangan di atas, dan cukup relijius. Kekurangannya hampir tidak ada. Begitupun, komentar saya ini tidak jauh berbeda dengan kawan-kawan di ranah politisi dalam dan lintas partai.

Istri beliau juga ramah, baik dan menyenangkan. Ketulusan yang mereka berikan terpancar dari seluruh anggota keluarga. Saya merasakannya sewaktu sosialisasi ke simpatisan di Tebingtinggi, saya dan beberapa fungsionaris Gerindra meyempatkan diri bertandang ke rumah beliau. Sungguh, beliau adalah cerminan orangtua yang peduli dan dekat pada keluarga.

Dan sampailah saya pada bisik-bisik tetangga, bahwa mesjid yang berdiri tak jauh dari rumah beliau adalah mesjid umum yang sebagian besarnya dibangun dari ‘hasil keringat’ beliau. Perkara beliau mendapat uang darimana, saya tidak tahu dan tak mau tahu. Sebab penilaian amal ibadah adalah hak Allah. Bukti tersebut saja sudah cukup bagi saya bahwa ada tersimpan butir-butir kebaikan dalam diri beliau.

Meski begitu, tak sedikit kabar miring mengalir pada beliau. Tentang beliau yang serakah kekuasaan, hobi menukar-ganti pengurus, tidak tegas, tidak peduli dan lain sebagainya. Kodratnya demikian. Semakin tinggi pohon, maka semakin kencang angin menerpa. Biarlah selentingan tersebut pupus dihapus embun pagi.

Tiga hari lalu, saya ditelpon oleh bang Hasan Basri, mantan ketua DPC Partai Gerindra Pematang Siantar. “assalamualaikum Dinn, bang Hendrik Pulungan meninggal kemarin sore. Tidak sakit, tapi beliau meninggal tiba-tiba.Tolong dikabarkan pada kawan-kawan yang lain ya” tergagap bang Hasan Basri mewartakan berita kepergian itu. Tak sempat saya menata hati, bang Hasan pun menutup telpon meninggalkan saya dalam diam.

Sedih rasanya ketika mengetahui bahwa bang Hendrik telah pergi. Saya tak percaya, namun kenyataan berbicara. Semua kenangan tentang beliau, satu demi satu kembali menjelma. Belum usang. Sebab saya adalah pengingat yang baik. Laku beliau terjalin rapi dalam sel saraf, membentuk simpul dan terikat erat. Saya tahu Allah lebih sayang pada beliau.

Cerita langit telah sampai pada bab terakhir. Sosok berkelakar dan sederhana itu telah pergi kini. Meninggalkan sekelumit kisah singkat yang indah.

Selamat jalan bang H. Hendrik Pulungan. Semoga Allah memberi sebaik-baik tempat, dan selalu mencurahkan rahmatNya pada keluarga yang ditinggalkan. Saya, kami semua, menyayangi bang Hendrik..

Tuesday, December 20, 2011

Karena Sayang

Hai desember…

Long time not share…

Bukan sengaja melupakan, hanya saja Dell mengulah lagi sehingga tak sempat menuliskan. Oh, sekarang saya di warnet depan rumah, berburu waktu agar nominal billing tak banyak bertambah. Tentunya, godaan terberat saja adalah Nancy Ajram dengan suaranya yang centil dan melenakan, disertai goyangan belly dance yang aduhai, lumayan menggoda iman hingga sering saya tak sadar bergoyang sendirian.

Dari banyak kisah, telah saya pilih pilah, inilah cerita pertama saya untuk tengah Desember. Cerita istimewa dari berpuluh kisah dalam kepala dimana semuanya menyeruak ingin tampil ke permukaan. Boleh-boleh saja jika telah membacanya, sebagian orang akan mengatakan biasa saja. Komentar apapun itu, saya selalu siap menerimanya bahkan sebelum lahirnya tulisan-tulisan saya. Sebab saya percaya hukum popularitas seorang penulis bahwa, tulisan akan menemukan nasibnya sendiri.

Well, read it out mate…

Buku yang sedang saya baca saat ini adalah Catatan Hati Seorang Istri (CHSI), salah satu karya best seller-nya Asma Nadia. Sebenarnya buku ini biasa saja. Berkisah tentang perempuan-perempuan dalam menjalani lika-liku kehidupan keluarga. Bagaimana mereka menghadapi perceraian, sabar ketika mendapati sikap suami yang berubah 180 derajat, dan berbagai kisah lainnya. Haru, seru, dan menyenangkan. Well, saya cukupkan saja sampai di sini, sebab saya bukan hendak men-sinopsis buku ini. Hanya intermezzo saja, agar cerita selanjutnya lebih mudah dicerna.

Bukan termasuk buku favorit sih, tapi saya suka membaca pengalaman demi pengalaman yang mereka tuangkan dalam sebuah tulisan. Sudah dua kali buku ini saya baca. Selain bahasa dan tutur katanya indah, saya juga bisa belajar mem-planning ‘keluarga’ saya kelak, meskipun rencana selalu jauh berbeda dari wujud nyata.

Kemudian, datanglah sosok yang ‘hobi’ mengkritik. Beliau, ayah saya. Ada saja hal yang ia bantah terlebih pasal pilihan hidup. Padahal sejak zaman nabi Adam, sah-sah saja orang berbeda pilihan sekalipun masih dalam 1 klan.

“buku apa nih?” Ayah membolak-balik buku CHSI yang saya letakkan di atas meja. Pandangannya sinis, bibirnya mengerucut, kemudian keluarlah keritikan pedas yang pedasnya melebihi sambil terasi. “buku yang dibaca tuh harus yang berbobot, bukan yang beginian” ujarnya seraya melempar buku tersebut ke atas meja. “gak menambah pengetahuan!”

Ya, begitu saja. Kalau saja ia orang lain, ingin rasanya meninju wajahya sampai lebam. Sayangnya, pada siapupn perlakuan kasar itu tak dibolehkan. Saya hanya tersenyum dan berusaha tenang di depan ayah. Sebab tak hanya buku CHSI saja yang pernah beliau kritik. Kalau tidak salah, ada 10 buku yang pernah ia komentari. Ada saja komentar yang ia lontarkan. Mulai dari pengarang, cover, judul, halaman, terlebih lagi isi.

“Buku itu hadiah dari kawan lama, ayah”. Dengan berat hati sebenarnya saya mengucapkan kalimat bohong barusan. “ Jadi selagi gratis, tampung saja lah. Untuk koleksi”.

Ayah tak bergeming, kemudian berlalu pergi.

Ucapan ayah saya buang ke tong sampah meski jauh di lubuk hati sempat hadir rasa marah. Bisa saja saya menggunakan kalimat keras pada ayah. Karena itu buku saya, saya yang membeli, saya yang memiliki, otomatis, sayalah yang berhak memperlakukan buku tersebut semau saya. Tidak seorangpun yang boleh mendzolimi hak saya selagi itu tak mengganggu dirinya dan khalayak ramai. Bisa saja saya mempertahankan ego, utuk membela buku tersebut mati-matian demi harga diri, dan demi memperjuangkan prinsip bahwa saya tidak suka dizholimi.

Namun hak akan gugur dengan sendirinya jika kau berhadapan dengan prinsip menyenangkan orang tua.

Karena saya sayang ayah. Beliau lah penuntun lembar pertama kehidupan saya, setelah emak tentu saja. Beliau mengajarkan saya banyak hal. Beliau memaksa saya untuk selalu berpikiran ‘cerdas dan kaya’. Beliau pula yang menyadarkan saya untuk banyak membaca. Sehingga saya sampai pada kesimpulan, apalah arti sebuah buku jika kemudian saya hanya menyakiti perasaan ayah, meski beliau berada pada posisi SALAH. Apalagi, tak guna memperdebatkan hal remeh temeh yang tak begitu berpengaruh dalam gerak dan langkah.

Tapi bukan berarti saya dan ayah tak pernah berselisih paham. Ada saat dimana saya dan ayah bersitegang urat leher tentang analisis politik dan pemerintahan, tentang prinsip agama, juga tentang menentukan sikap membela Angelina Sondakh atau Nazaruddin. Namun tetap saja saya lebih banyak menekan ego berdiri lebih tinggi.

Ini memang tentang rasa dan kebebasan berpendapat, kawan. Tapi bagi saya jika berhadapan dengan orang tua, lebih utama adalah penghormatan.

Tuesday, August 30, 2011

Happy 'Eid Mobarraq

Malam aidil fitri 1432 H. Aku berlebaran di kampung, tepatnya di Tanjungbalai. Kota kecil dimana aku dilahirkan. Karena sebagian besar masyarakat di kampungku beragama islam, jadi cukup ramai orang yang merayakan idul fitri. Pemeluk agama Kristen dan budha pun ikut serta. Mereka merasakan kegembiraan pada tiap sudut dan ruang.

Kenderaan lalu lalang di depan rumahku yang terletak persis di pinggir pasar. Mulai dari mobil jenis city car, mobil keluarga, mobil pick up, hingga sepeda motor terkeren dan terbutut yang knalpotnya sangat berisik dan menyebalkan seperti kentut. Mereka memekikkan takbir lewat pengeras suara. Ada yang diteriakkan dengan suara langsung, ada juga yang digemakan dari tape recorder. Liriknya tak jauh berbeda. Namun nadanya jelas tak sama. Ada yang sumbang, dan adapula yang merdu.

Di depan rumah aku duduk sendiri. Oya, bersama netbook dan handphone tentunya. Puisi dan pantun idul fitri mulai berdatangan memenuhi inbox. Mulai dari yang serius, santai hingga lebay. Banyak juga salam lebaran itu yang berbunyi sama dengan kata-kata sebelumnya. Bisa kutaksir, mereka ini hanya copy paste saja. Biar lebih praktis dan tidak buang waktu.

Malam ini sangat meriah. Malam kemenangan bagi seluruh umat islam terlepas dari mereka yang puasanya full atau setengah. Semua umat bersuka cita menyambut hari raya, namun di sisi lain bersedih karena telah berpisah dengan bulan puasa.

Begitupun aku, haru dengan suasana ini. Memikirkan saat ketika puasaku banyak bolongnya. Bukan saja dikarenakan kondisi kewanitaan yang memang mengharuskan aku untuk tidak berpuasa, akan tetapi juga karena alasan klasik yang kuciptakan bahwa aku sangat haus dan sangat lapar kala itu. Namun, bukankah itu hal biasa bagi orang berpuasa?

Semoga aku bisa bertemu dengan bulan Ramadhan kedepan, dengan jiwa yang mantap dan dada yang lapang. Tentunya dengan seseorang yang pantas mengisi hatiku, lelaki yang halal bagiku, yang Allah pilihkan dan meridhoinya untukku. Amiinn…

Saturday, August 27, 2011

Laundry: ada rupa ada harga.

Rumah kontrakanku letaknya di perumahan Johor. Masih di kota Medan juga. Lingkungannya cukup lah. Cukup menyebalkan maksudku. Keadaan ini diperparah lagi dengan airnya yang berwarna coklat kekuningan. Berbau besi pula. Otomatis, jika mencuci pakaian, warnanya akan sama dengan warna air. Apalagi jika mencuci pakaian putih. Tamatlah riwayatnya. Jalan akhirnya, jadikan saja kain lap kompor atau alas kaki. Nah, alasan inilah yang membuatku berani menyinggahkan 24 potong pakaian ke laundry.

Tapi, jangan kira me-laundry pakaian bisa sesuai dengan yang kau inginkan dan dapat mengikuti seleramu. No, mate. Jika kau ingin bersih, jelas-jelas itu mustahil. Sebab laundry hanya menyediakan jasa cuci dengan mesin cuci. Wangi? Tentu saja ada empat jenis wewangian yang bisa kau pilih. Wangi tisu, bunga mawar, jeruk, dan citrun. Saat kau membuka plastik laundry yang membungkus bajumu, maka wewangian itu langsung menusuk tajam ke hidungmu. Kemudian, dengan polosnya kau katakan pakaianmu bersih.

Kusarankan, coba check seluruh pakaianmu setelah kau mengambilnya dari laundry. Perhatikan ujung bawah celana, pinggang dan pisaknya. Setelah itu baju. Lihat pada kerah, bagian leher, dan ujung bawah baju. Jelas saja kau akan melihat warna hitam samar-samar. Bercak-bercak dan noda bandel masih menempel. Akan lenyap jika dicuci dengan tangan, bukan mesin cuci yang kerjanya hanya mengobok-obok dan memutar seluruh pakaian.

Begitu yang terjadi dengan pakaianku yang baru saja kuambil dari tempat laundry LKS (laundry kita semua) di dekat rumah. Sangat mengecewakan.

“itu tak akan terjadi jika kau mengantarnya ke Verona. Tempat laundry eksklusif di kota sana” kata Def, teman imajinerku. Kumajukan mulutku dan mendelik ke arahnya. Kupikir Def benar juga. Aku me-laundry pakaian ke tempat laundry murahan, jasa laundry yang biasa digunakan mahasiswa kampung yang mana kulihanya dibiayai oleh pemerintah lewat beasiswa. Enam ribu perak per-kilonya. Jadi, sesuai dengan butir-butir ekonomi, ‘ada rupa ada harga’, itulah yang berlaku di duniaku sekarang ini.

“ya, aku tahu. Tapi di tempat laundry lain gak separah ini!” belaku sambil berdoa agar aku diberkahi Allah rezeki yang berlimpah-limpah dan karunia yang tak putus-putusnya.

Friday, August 26, 2011

sulit dimengerti

Pemecatan itu, tak berdampak buruk pada jiwaku. Tak ada hal rumit dan tak perlu dirisaukan. Biasa saja. Sebab sudah sejak awal kuramalkan akan terjadi pemberhentian secara sepihak oleh perusahaan. Tentunya diembel-embeli alasan yang entah mengapa sampai saat ini tak bisa kumengerti. Tapi begitulah. Hidup acapkali mudah ditebak, namun terkadang teramat sulit untuk dimengerti.

Aku turuti permintaan redakturku, keluar dari perusahaan media tempat aku bekerja. Terima tidak terima, kalau sudah pemilik yang bicara, seorang pekerja hanya bisa tertawa nan tak lega dan itupun masih dijejali dengan seribu tanya. Mengapa? Kok bisa? Apa yang terjadi? Benarkah?

Bagaimanapun, hidup harus terus berlanjut. Rezeki datang darimana saja dan kapan saja jika mau berdoa dan berusaha.

“kok bisa ya gue dipecat? Keren amat yakk”. Till now, was thinking bout that. Mesi tak sedih, kasus ini mengganggu isi dompet. Semoga saja tak mengganggu hubunganku dengan keluarga terutama adik-adikku. Semoga saja mereka tak menganggapku kecil, sepele, dan malang. Semoga saja mereka tak menjadikanku Upik Abu. Semoga saja banyak hal lebih baik yang menunggu. Amiinn…

By the way, malang apa keren ya? Haahh… dunnolah. Lebih baik tidur. Lelah rasanya. Apalagi tadi sempat menahan perasaan agar tak marah. Tuhan… save my life. Kuatkan aku ya…

Thursday, August 25, 2011

diistirahatkan

“ayo bang, buka rapatnya” ujar Redakturku . Saat aku menuliskan cerita ini, lelaki berperawakan gendut itu sudah mantan redakturku. Sebut sajalah namanya Rino.

“eh, kok aku?” jawab kepala kantor. Aku tak tahu tepatnya posisi beliau ini sebagai apa dan divisi apa. Selama aku bekerja di sana, lelaki separuh baya itu datang siang hari, pulang sebelum ashar. Kerjanya, menginstal komputer, mendownload server, dan acapkali kudapati ia menyapu halaman dan pernah pula mencuci piring. Aku kurang paham aku apa tufoksi beliau. Sebab, manajemen organisasi di kantor tempatku bekerja, tidak mengenal adanya struktural. Tapi kupikir, jangan-jangan mereka memang tidak menginginkan adanya struktural profesional agar posisi tak bergeser.

Perusahaan keluarga? Tidak juga. Karena tak seorangpun pekerja, mulai dari kanvaser, fotografer, administrasi, promosi, marketing hingga wartawan, berhubungan famili dengan owner perusahaan. Bau kunyit pun tidak. Setahuku, lelaki gendut yang berprofesi sebagai redakturku tadi, sudah kenal lama dengan ownernya. Bahkan sejak perusahaan yang berkonsentrasi di bidang media (tabloid fashion) itu dibuka. Begitu pula dengan lelaki separuh baya yang aku tak tahu kerjanya. Beliau adalah teman dekat owner semasa SMA.

“kau lah. Jangan aku”. Lanjut lelaki paruh baya tadi. Aku tulis saja namanya Deni.

Bingung aku dibuat ulah dua orang lelaki ini. Sangat bertele-tele dan terkesan takut menyampaikan sesuatu. Padahal tampangku cukup tegas untuk mendengar segala hal berbau kepedihan dan kabar buruk. Aku menoleh keduanya, heran. Padahal rapat khusus ini dijadwalkan kemarin, tepatnya hari selasa, 23 Agustus 2011, pukul 03.30 pm. Tapi diundur menjadi hari rabu, karena lelaki paruh baya tak bisa datang. Aku terlalu lama menunggu ‘rapat penting’ yang mereka agendakan. Hingga saat itu tiba, rapat masih ditunda. Akhirnya ‘rapat penting’ itu terlaksana pukul 05.45 pm.

“abanglah. Buka dulu rapatnya” kata Rino.

“ya udah, kalau gak ada yang mau buka rapat khusus ini, biar aku yang buka dan mulai ya”. Tegasku hingga membuat mereka tersentak. Segera Deni angkat bicara.

“assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh”. Ucapnya pelan dengan lapadz ‘r’ yang tak sempurna. “Berhubungan dengan rapat ini diadakan, karena ingin menyampaikan hal penting”. Singkat saja, kemudian ia mengarahkan tangannya pada Rino. “Baiklah, silakan dilanjutkan”.

“sebelumnya, kita minta maaf karena kerjasama dengan Naina kita cukupkan sampai di sini”. Aku yang sudah feeling dari sebelum cerita ini terjadi, datar-datar saja, tidak merasakan sentakan. “terimakasih juga dengan sumbangannya untuk Tabloid Youngs Medan”.

“Ohh… rapat untuk pemecatan. Bilang yang tegas donk bang. Berita pemecatan bukan untuk diundur dan dimain-mainkan. Tapi itu berita penting”. Aku tertawa wajar, untuk menenangkan situasi dan melumerkan ketakutan antara mereka. “intinya aku diberhentikan dari sini kan”.

“iya” jawab Rino. “alasannya, karena tulisanmu gak bagus, gak pantas di tabloid ini, dan gak seperti yang aku inginkan”.

What? Gak bagus katanya? Alasan yang dibuat-buat. Sebulan setelah aku bekerja di sana, aku sudah tahu kalau Rino tendensius padaku. Di tulisan terdahulu, sudah aku katakan bahwa aku selalu diberikan pertanda tentang apapun yang terjadi dalam hidupku. Sangat peka menangkap gelagat, sangat perasa pada tiap orang berbuat. Dan Rino, ia tak suka padaku. Ia takut aku mengambil posisinya. Ia takut terancam akan di depak dari perusahaan yang memang sering sakit perut itu. Mengambil istilah dalam kedokteran, perusahaan itu sudah mengidap muntaber jauh sebelum aku menjadi kuli tinta di sana.

“paling fatalnya, waktu ada liputan gadget, tapi Nai menolak untuk liputan. Padahal seharusnya wartawan harus siap 1x24 jam kapanpun dibutuhkan” tambahnya. “di sini memang tidak ada surat peringatan atau teguran, tapi evaluasi kerja dan tulisan. Kinerja dilihat tiga bulan kedepan sejak bekerja”.

Aku ingat, kira-kira lima hari lalu, ia menyuruhku liputan gadget (peluncuran ponsel merk Next-G) di Komplek Asia Mega Mas. Namun aku menolaknya. Aku punya alasan untuk itu. 1. Sangat mendadak, karena ia menugaskan liputan itu pukul 05.45 pm. 2. Aku juga ada liputan Danone Aqua di Swiss Bell. 3. Tulisan yang kukirim juga sudah banyak, melebihi tugasku. 4. Rupanya hanya aku yang ia tugaskan. Padahal masih ada satu wartawan lagi (lelaki), namun tidak ia kabari. 5. Aku mau buka puasa.

Oya, sebelum cerita pemecatan aku lanjutkan, aku beritahukan sedikit sejarah perusaan. Singkatnya, sudah dua tahun perusahaan itu berdiri, namun masih makan dari uang subsidi. Menyedihkan memang. Tak ada vendor atau provider yang bernyali beriklan di sana. Sebab oplahnya kecil, cuma 3000, tak lebih. Parahnya lagi, pembacanya minim dan sangat sedikit masyarakat mengenal nama Tabloid ini. Jujur saja, aku punya pegalaman memalukan ketika wawancara dengan narasumber. “baru dengar saya nama tabloid ini” ujar beberapa dari mereka. Mereka pikir, aku wartawan gadungan.

Miris. Namun ketimpangan itu disebabkan tidak adanya manajemen organisasi, hilangnya standar operasional prosedural serta tidak adanya tugas pokok dan fungsi. Sering rapat diadakan, tapi berhujung pada curhat colongan. Jauh dari aksi membahas masa depan perusahaan. Lagi-lagi tanpa berniat subjektifitas personal dan tendensius internal, ini adalah kesalahan atasan atau owner perusahaan. Sangat tidak tegas memimpin, tidak terlalu peduli, tidak mengayomi, kurang ide cerdas, serta tidak memahami perusahaannya sendiri. Aku sangat menyayangkan hal ini. Tapi apa boleh buat, aku hanya kuli tinta di sana.

Sejak awal, aku sangat tahu sikap Rino padaku. Memang ia tak pernah bicara, tapi aku pandai merasa. Begitulah. Mungkin ia tahu kalau aku sangat kritis dan frontal meski sikap itu aku samarkan. Sebodoh-bodohnya manusia, tapi ia pasti punya sinyal jika dirinya dalam keadaan bahaya. Kemudian, ia ciptakan alasan untuk mendepakku.

“bang Harun (owner) sedang umroh memang. Tapi ini sudah aku bicarakan. Katanya semua diserahan padaku, dan beliau hanya menunggu hasilnya”. Sepanjang ia bicara, tak sekalipun ia menoleh ke arahku. Bukan apa-apa sih. Katanya ia terkena penyakit salah tidur hingga menyebabkan kepalanya miring ke kiri. “okey, bang Deni ada yang ingin disampaikan lagi?”

“gak ada. Aku sih ikut redaksi aja. Kalau begitu keputusan redaksi, ya sudah”. Ujar Bang Deni. Aku hanya tersenyum. Mereka begitu grogi berhadapan denganku. Kurasa aku semakin tangguh menjalani hidup. Lebih siap, juga lebih ikhlas. Mungkin itu sebabnya mereka kehilangan kendali hingga grogi bicara padaku. “tapi Nai seringlah main-main kesini”.

“main apa bang?” tanyaku mencoba mengerti maksud perkataannya. “apa boleh main internet sepuasnya?” kupertegas pernyataan dengan tanya sambil menyelipkan tawa. Tapi bang Deni diam seribu bahasa. Keceplosan bicara kali ya.

Untuk menebus rasa malu dan bersalah, harusnya tak seperti itu. Biasa-biasa sajalah. Kaku sekali mereka. Aku yakin, bahwa pemberhentianku sama sekali tak ada hubungannya dengan tulisan dan kinerja kerja. Sekali lagi, aku yakin dengan keyakinanku. Hanya Tuhan, aku, dan pembaca tabloid yang tahu bagaimana tulisanku dan semampu apa aku menembus nara sumber. Untuk berkoar-koar di sini, rasanya terlalu picik dan merusak citra.

Jadi, alasan tersebut, hanya direka-reka saja supaya aku out. Sebab tidak mungkin kan, kalau pemecatan didasarkan pada rasa tendensius dan kebencian?

“tapi kita juga terima tulisan-tulisan Nai di tabloid ini. Juga usul dan idenya” ucap Rino. Tak ada rasa malu di wajahnya ketika mengucapkan itu. Padahal baru saja ia mengucapkan bahwa tulisanku tidak bagus dan tidak pantas untuk tabloid itu. sungguh kesalahn yang fatal.

Selain itu ia juga meminta ide dan pemikiranku. Kalian dengar itu? Apa dia pikir ide, pemikiran dan gagasan bisa diperoleh cuma-cuma alias gratis? Buah pikiran itu sangat mahal harganya sodara-sodara. Berani bayar berapa mereka dengan ide-ideku yang hampir selalu jitu dan segar itu? Huhh…! Idiot…!

Dan menerima cerpen pula katanya? Dibayar pake baju kaos bertuliskan Tabloid Youngs Medan yang harganya 20 ribu itu? Sorry ya…! Aku punya banyak stok kain lap di rumah.

Akhirnya, aku resmi diberhentikan setelah bekerja selama empat bulan. Keren ya. Track record yang luar biasa. Mungkin ayahku akan tertawa mendengar berita ini. Atau mungkin ia akan geleng-geleng kepala? Sulit diterka. Orang yang cukup sulit aku selami perkataan dan tindakannya adalah ayahku. Beliau sangat misterius, pelit bicara. Makanya unpredictable. Tapi aku tak pernah berhenti belajar mengikuti gayanya.

Well, kemana langkahku selanjutnya? Nantikan saja ya. Akan aku kabarkan pada kalian. Jangan takut, aku semakin terbiasa menghadapi perit hidup. Pemecatan itu, keripik lah. Masih jauh dari apa yang dulu pernah kurasakan saat terjerembab dari puncak kekuasaan.

Yang pasti akan ada cerita seru, mengharu biru.

Love

Na


Wednesday, August 24, 2011

pertanda

Entah mengapa, aku tahu bagaimana ‘cerita’ hidupku kedepannya. Maksudku, bukan ingin menyerupai Tuhan apalagi mengingkarinya. Tidak. Seluruh hidupku, hanya Tuhan yang tetapkan dan memiliki rahasia padanya. Tapi aku kerap tahu perjalanan hidupku dan apa yang terjadi di dalamnya.


Masih bingung? Baiklah, aku perjelas.


Begini, aku selalu diberitahu pertanda akan terjadi sesuatu. Misalnya, aku tahu kapan akan jatuh saat berjalan, aku tahu tanda-tanda akan dapat rezeki, aku tahu tanda-tanda akan sedih, aku tahu apa yang terjadi denan orang-orang di sekitarku, dan parahnya, aku bisa melukai orang yang menyakitiku, (sejauh ini hal itu sering terjadi) dan sebagainya.

Apa ada seseorang aneh di luar sana yang sama denganku?



Well, lanjut ya.


Saat dimana tangan kiriku gatal, maka rezeki akan datang. Tapi kalau tangan kanan, bersiaplah isi dompet terkuras, alias uangku menipis karena ‘terpaksa’ membelanjakan sesuatu tanpa diduga-duga. Kemudian mata kiriku berkedip-kedip, maka akan datang hal baik. Tapi kalau mata kananku berkedip-kedip, akan ada kejadian buruk. Kalau telinga kiri berbunyi, akan ada hal yang manis. Tapi kalau telinga kanan yang berbunyi, aku pasti gelisah karena akan ada masalah. Kalau ketawa terus-terusan (padahal yang diketawain juga biasa dan sama sekali gak ada lucunya), maka bersiaplah menerima kabar buruk.


Selanjutnya, aku juga sangat peka dengan segala hal. Seperti ketika temanku membenciku, aku tahu. Ketika ada yang gak suka denganku, aku juga tahu. Dan ada yang sampai ingin mencelakaiku, pun aku tahu.


Terus, aku juga bisa menebak dan meramal masa depanku. Apa, mengapa dan bagaimana. Hampir detil. Dan orang-orang dalam masa depan itu, watak dan perawakannya juga gak jauh menyimpang dari gambar nyatanya. Terkadang, aku juga takut dengan keadaanku *apa bisa dibilang kelebihan?*. Karena gak ada penangkalnya. Yang aku lakukan hanya sholat.dan berdoa. Tips manjur untuk menenangkan pikiran dan hati. Sebab untuk menolak segala kejadian itu, aku tak cukup mampu. Setelah itu *kalau masalah dan kabar buruk datang* aku hanya menangis dan merenungi hidupku sendiri. Atau paling tidak, aku akan membangunkan Def, sahabat imajinerku.


Namun acap kali segala pertanda itu kuabaikan. Pura-pura tak merasa, menentang insting dan bisikan hati. Hasilnya, yang kuperkirakan tetap saja terjadi. Aku sok hebat, terkadang.

Okey, Tuhan punya kuasa atas segalanya. Aku mau apa? Mungkin di samping ramalan itu, jauh hari sebelumnya takdir telah dituliskan atas namaku. Menolak takdir? Aku hanya seorang hamba, tak ada kekuatan terlebih lagi niat untuk menandingiNya.

Tuhan, aku menerima apapun yang Kau takdirkan untukku. Pintaku, jadikan aku lebih kuat atas setiap ujian dan cobaanMu, jangan palingkan wajahMu dariku, tambahlah rasa imanku padaMu, berikan jalan untukku menggapai kegemilangan hidup.


Na


Saturday, August 20, 2011

Marah

“Bahkan orang jenius terbaik pun tak selalu bisa mengontrol emosi mereka” kulempar pandang ke danau buatan yang terletak di pinggir perpustakaan. Sebenarnya danau ini cantik. Tapi karena kurang terawat, jadi tak begitu sedap dilihat. Dedaunan kering yang berguguran jatuh ke dalamnya. Airnya hijau dan dindingnya dipenuhi lumut. Sangat mengganggu pandangan mata. Herannya, sekawanan ikan kecil –menurutku jenis ikan gabus- menari-nari di sana. Menimbulkan riak-riak kecil yang menghapus cermin diriku.

“ber-apoloji?” tanya Def, sahabat imajinerku. Def selalu hadir dalam setiap jeda hidupku. Di kala aku lelah dan butuh ‘tong sampah’. Tepatnya, aku sengaja menghadirkannya. Kami, -aku dan Def- sering perang argumentasi. Def kerap memberikan pertanyaan di luar nalarku. Komentar-komentarnya kritis, pedas dan cukup menggelitik. Kadang kala ia mencercaku habis-habisan, menertawai, dan mengatakanku bodoh. Ada saatnya pula ia tak mau kutemui. Alasannya sedang bersemedi.

Di hadapan Def, aku bisa jujur dan terbuka tentang masalahku. Aku percaya pada objektivitasnya dalam menilaiku. Namun bukan berarti aku tak pernah bicara dan berkeluh kesah pada orang lain. Hanya saja, aku merasa nyaman berkisah pada Def. Ia tak pernah menggurui, sok tau, dan belagak dewasa.

“aku tak pernah berapologi tentang karakterku Def. Aku ingin perubahan dalam hidup, agar kedepannya lebih mature dan bijak”. Kupandang cicak di atas langit-langit kamarku. Seakan tahu apa yang kupikirkan, ia pun berbunyi. Padahal aku sedang bicara dengan Def.

“apa menurutmu marah itu baik?” Def melayang-layang di udara. Ia tersenym jenaka. Kalau tak mengingat ia maya, ingin rasanya kubenamkan kepalanya ke dasar danau buatan, kemudian menahan kepalanya 5 hingga 10 detik, agar ia mau serius dengan pembicaraan kami. Oh, kuralat. Kalau tak mengingat ia adalah aku, ingin kupecahkan kepalanya pakai palu.

“tentu saja tidak. Tapi aku tidak bisa lagi mengendalikannya. Habis sudah kesabaranku menghadapi anak itu. Dan di saat aku marah itu, adapula rekanku yang nyolot. ‘dia kan Cuma bertanya, kak’, ujarnya. ‘kok marah-marah kak. Puasa ini. Minum la, udah batal tuh puasanya’ begitu katanya. Aku merasa emosiku dipermainkan, Def. Kupikir-pikir, siapa pula dia hingga berhak menghakimi puasaku. Sudah tahu dia parameter batalnya puasa rupanya? Apa sudah paham dia kadar iman seseorang? Tuhan saja tak pernah menjustifikasi sekasar itu tanpa melihat sebab musababnya”.

“trus?”. Bahh… berpanjang lebar aku bicara Def hanya bertanya satu kata singkat saja?

“well, sekarang kutanyakan padamu, apakah kau tak terganggu manakala ketika kau marah, orang-orang di sekitamu ikut bicara dan memainkan emosimu?”

“jelas saja aku terganggu. Bahkan aku tak suka jika aku belum selesai bicara, ada yang menyela”.

“nah, so what? Tindakanku sudah benar kan?” tanyaku sambil mengangkat kedua tangan setinggi dada dengan telapak membuka.

“aku paham permasalahanmu dan cukup mengerti perasaanmu, Na. Meski demikian, aku tak bisa membenarkan. Maksudku begini. Kita sama-sama tahu, marah adalah sikap yang sangat sulit di tahan. Namun marah harus dihindarkan walaupun dalam keadaan ‘sudah pantas’ marah. Bahkan berkali-kali telah diingatkan Allah dalam Al-quran, yang kalo aku tak salah bunyinya begini”. Kulihat Def berusaha mengingat-ingat firman Allah.

‘(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan’. (QS. Ali Imran - 134)”

‘Makin hebat nampaknya si Def ini’. Aku bergumam sendiri.

“Sampai-sampai Nabi Muhammad pun turut mengingatkan perihal marah ini berkali-kali”, tambah Def.

‘Dari Abu Hurairah Radliyallaahu‘anhu bahwa ada seseorang berkata: Wahai Rasulullah, berilah aku nasehat. Beliau bersabda: “Jangan marah.” Lalu orang itu mengulangi beberapa kali, dan beliau bersabda: “Jangan marah.’ (Riwayat Bukhari).

“Dan untuk kejadian yang kau hadapi barusan, aku juga tidak akan menyalahkanmu. Silahkan jika menurutmu itu wajar. Sudah terjadi, untuk apa disesali. Kau hanya perlu menyadari dan berjanji, kelak marah tak akan kau lakukan lagi. Karena akan banyak orang yang tersakiti ketika kita marah. Lagipula, efek marah hampir selalu tak baik. Whatever, aku salut padamu karena langsung minta maaf saat kejadian itu. Tindakan yang sangat berani, girl”.

Aku tahu, Def tulus mengucapkan kalimat terakhir itu padaku.

“selanjutnya, kau harus belajar menyesuaikan diri dengan ‘sikap’ orang lain Na. Karena tak semua orang di dunia ini, meski usia dan gelar bertambah, cukup peka, mengerti, bijak dan dewasa. Beruntunglah kau yang dilimpahi Allah dengan sikap pengertian, peduli, dan berakal”.

Mendengar ucapan Def, aku jadi teringat nasehat almarhum atok. “banyak manusia, tapi hanya sedikit yang pandai menggunakan akalnya”. Itu juga yang diulang-ulang ayah saat menasehatiku.

“bukan berarti aku mengatakan rekan-rekanmu itu tak berakal. Tapi, beruntunglah kau dilahirkan oleh orangtua yang cerdas, didekatkan dengan orang-orang cerdas dan berakal pula” kata Def lagi. “jadi, alangkah buruknya jika bekal itu kau lunturkan hanya dengan amarah”.

Kemudian aku memeluk Def, terharu dengan nasehatnya. Tapi aku mendapati bahwa aku malah memeluk diriku sendiri. Entahlah, yang jelas Def membuatku lebih baik.

“terimakasih Def” ujarku pelan agar tak terdengar orang dan juga supaya mereka tidak menyebutku gila.

***

Tips agar tidak marah yang kuambil dari berbagai sumber:

* Baca ta’awudz (a’udzubillahi minasy syaithoonir rojiim) sebab setan membisikkan manusia untuk berbuat dosa termasuk marah. Berlindunglah terhadap Allah.
* Bersabarlah. Tahan kemarahanmu
* Diamlah
* Jika berdiri, duduklah.
* Jika masih marah, berwudlu’-lah
* Jika terpaksa bicara, beritahu dengan cara yang benar. Misalnya: Kalau melakukan ini caranya begini sambil memperagakannya. Jangan panjang-panjang cukup 2x. Kalau kesalahan masih terulang, ulangi lagi nasehat tersebut. Hindari menggelari orang dengan sebutan yang kita sendiri tidak suka, seperti bodoh, dan sebagainya.

Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

“Orang kuat itu bukanlah orang yang menang bergulat, tetapi orang kuat ialah orang yang dapat menahan dirinya ketika marah.” Muttafaq Alaih.

Semoga kita bisa mendapatkan Ridho-Nya. Amiinn ...

 
Free Host | lasik eye surgery | accountant website design