Akhirnya tanggal 1 datang juga. Setelah sebulan lamanya hidup dalam keterbatasan ekonomi, segalanya serba pas-pasan, hingga tak sengaja pula mempraktekkan prinsip ‘mengencangkan ikat pinggang’. Untung saja tak sesak.
Huaaahhh… lega. Rasanya lepas dari perangkap buaya. Bayangkan, satu bulan bertahan dengan pola ‘daur ulang’ mengatur keuangan. Cari modal bisnis kecil-kecilan, kemudian keuntungannya bukan disimpan tapi dimakan, selajutnya cari modal lagi. Begitu seterusnya. Ternyata sampai sekarang masih hidup. Cukup mengesankan.
Padahal tadinya aku tak percaya dapat melaluinya. Karena sebelumnya hidupku bergelimang harta, berada di jurang popularitas, dan berdiri di tengah-tengah lapangan kekuasaan. Tiba-tiba menukik ke bawah, terjerembab ke kampung kemiskinan. Aku tersedar seketika tatkala aroma busuk tercium di mana-mana, derita ke-papa-an menyebar cepat bak virus kanker, kemelaratan menyebabkan semakin menjamurnya kejahatan. Sangat kontras kala aku ‘di atas’. Namun, ada sedikit persamaan bahwa, baik ‘di atas’ maupun ‘di bawah’, sebagian besar manusia diperbudak oleh uang.
“apa Raline Rahmadshah pernah menjalani ini?” tanyaku pada Iin.
Raline Rahmadshah adalah utusan putri Kota Medan, finalis Putri Indonesia, wakil Putri Kepulauan Sumatera, bintang iklan televisi, juga putri Rahmadshah, salah seorang anggota Dewan Perwakilan Daerah, ketua PMI Sumatera Utara, perwakilan konsultan Turki, pemilik gallery/museum hewan, pengusaha terkenal, dan entah apalagi. Aku lupa karena saking banyaknya ‘amanah’ yang ia emban di pundaknya.
“tidaklah. Raline kan sudah sangat kaya sejak lahir. Bahkan seluruh keluarganya orang berduit dan penguasa pula” jawab Iin sambil mengeluarkan uang dari amplop gajinya sebagai Redaktur Otomotif di salah satu media yang bolehlah dikatakan cukup punya nama. Alias nama buruk, karena pernah mencatat sejarah mem-PHK-kan seluruh karyawan tanpa pesangon dengan dalih perusahaan pailit.
“pasti enak ya hidupnya” ucapku gantung yang menimbulkan kesan kalimat tanya.
“ya pasti. Tapi hidup seperti itu kan tidak manusiawi”. Kali ini ia beralih posisi dari duduk ke terlentang sambil menghitung uang.
“maksudnya?” tanyaku pada Iin, adikku yang sebenarnya sering menjadi ‘musuh’ bicaraku.
“hidup susah, sulit, dan serba keterbatasan materi seperti kita ini manusiawi” jawab Iin.
Kucatat kata ‘manusiawi’ dalam memoriku. Kubayang-bayangkan, kupikir-pikirkan. Rupanya ‘manusiawi’ yang dimaksud Iin adalah kemiskinan berjamaah yang sudah menjadi ciri khas bangsa Indonesia. Sebagaimana kutu yang menempel di jangat, begitulah kemiskinan itu. Melekat erat. Saking lamanya bertahan dalam kemiskinan, ia menjadi manusiawi. Tak asing lagi.
“hidup seperti Raline dan orang kaya-orang kaya di luar sana, itu biasa saja. Mereka tak akan punya kenangan hebat seperti kita ini. Yang berjuang keras untuk hidup, berjibaku demi sebuah harapan, berkeringat untuk bisa makan”, lanjutnya.
Aku tersenyum getir. Bayangan kemiskinan dan stagnansi cita-cita kerap menghantuiku. Aku takut hanya berdiri di sini, diam dan tak berarti. Sekedar mencukupkan pada diriku sendiri.
“percayalah, masa depan kita akan cerah. Hidup seperti ini membuat kita lebih rendah hati jika kelak datang anugerah dan rezeki yang berlimpah, dan tidak cengeng jika kelak datang ujian dan musibah. Sebab kita telah pintar menari dalam hujan dan sudah piawai berjalan dalam badai”.
Sayup-sayup kudengar lagu Chalte-chalte mengalun pelan dari winamp Netbookku.
“Pyaar Hum Ko Bhi Hai
Pyaar Tum Ko Bhi Hai
To Yeh Kya Silsile Ho Gaye
Bewafa Hum Nahin
Bewafa Tum Nahin
To Kyon Itne Gile Ho Gaye
Chalte Chalte Kaise Yeh Faasle Ho Gaye
Kya Pata Kahan Hum Chale…”
Aku sangat suka original soundtrack utama dalam film Chalte-chalte yang dinyanyikan Abhijeet ini. Sangat indah di telinga meski aku tak tahu apa artinya dan tak tahu pula apa hubungannya dengan kemiskinan. Chalte-chalte mencuat begitu saja setelah lagu ‘jangan menyerah’ dari d’masiv. Iramanya lembut dan sedih. Jika korelasinya dipaksakan, maka, kemiskinan yang merupakan hal menyedihkan serta lagu Chalte-chalte yang berirama lembut nan menyayat hati, sangat pas menjadi lagu pengiring bagi orang-orang melarat, baik karena cinta, terlebih lagi karena uang.
Sudahlah, lupakan. Itu hanya karanganku saja. Kubuat sesukaku, untuk menghibur diriku. Yang penting, ini sudah tanggal 1. Tanggal muda kata PNS. Saatnya dapur mengepul kembali kata buruh. Lain lagi menurut lelaki yang ber-poligami. “tanggal genting karena tiap gajian harus dibagi dua, bikin aku seret dan pusing!” maki Herman, temanku yang berbini dua itu.
Kulihat Iin sudah berpakaian rapi. Berjilbab merah delima, berkerudung merah muda dan memakai kaos kaki coklat. Ia mengepak ranselnya. Memasukkan notes kecil, pulpen hitam hadiah dari klinik prodia, dan satu eksemplar koran tempat dimana ia bekerja. “untuk ngilap tangan dan mulut kalo nanti kita makan di luar” akunya santai.
Kami pun berangkat ke kantor (lagi) setelah baru dapat gaji. Rutinitas yang membosankan. Sama sekali tak ada untungnya jadi orang gajian. Namun akan lebih parah lagi jika yang sedikit itu ditelan sendiri. Lupa bahwa di dalam gaji tersebut juga ada hak mereka.
“mari kita berangkat” ajakku seraya mengambil helm kuning ber-cap SNI yang mirip helm power rangers.
Meski beda kantor, kami selalu berangkat bareng. Dengan demikian kami juga pulang bareng karena tinggal satu atap. Rupanya tak sadar kami telah menerapkan motto kota TanjungBalai, kampung halaman kami, ‘berjalan setujuan, batambat setangkahan’. Hendaknya Walikota tahu akan hal ini. Bisa melihat bahwa masih ada penduduknya di luar kota sana, yang sangat mengingat identitas kampung halaman. Sehingga walikota dan jajarannya menganugerahi kami ‘award’ sebagai penduduk terbaik.
Hahay…
“semoga ‘tiap hari’ bisa tanggal satu”.
0 komentar:
Post a Comment