“Bahkan orang jenius terbaik pun tak selalu bisa mengontrol emosi mereka” kulempar pandang ke danau buatan yang terletak di pinggir perpustakaan. Sebenarnya danau ini cantik. Tapi karena kurang terawat, jadi tak begitu sedap dilihat. Dedaunan kering yang berguguran jatuh ke dalamnya. Airnya hijau dan dindingnya dipenuhi lumut. Sangat mengganggu pandangan mata. Herannya, sekawanan ikan kecil –menurutku jenis ikan gabus- menari-nari di sana. Menimbulkan riak-riak kecil yang menghapus cermin diriku.
“ber-apoloji?” tanya Def, sahabat imajinerku. Def selalu hadir dalam setiap jeda hidupku. Di kala aku lelah dan butuh ‘tong sampah’. Tepatnya, aku sengaja menghadirkannya. Kami, -aku dan Def- sering perang argumentasi. Def kerap memberikan pertanyaan di luar nalarku. Komentar-komentarnya kritis, pedas dan cukup menggelitik. Kadang kala ia mencercaku habis-habisan, menertawai, dan mengatakanku bodoh. Ada saatnya pula ia tak mau kutemui. Alasannya sedang bersemedi.
Di hadapan Def, aku bisa jujur dan terbuka tentang masalahku. Aku percaya pada objektivitasnya dalam menilaiku. Namun bukan berarti aku tak pernah bicara dan berkeluh kesah pada orang lain. Hanya saja, aku merasa nyaman berkisah pada Def. Ia tak pernah menggurui, sok tau, dan belagak dewasa.
“aku tak pernah berapologi tentang karakterku Def. Aku ingin perubahan dalam hidup, agar kedepannya lebih mature dan bijak”. Kupandang cicak di atas langit-langit kamarku. Seakan tahu apa yang kupikirkan, ia pun berbunyi. Padahal aku sedang bicara dengan Def.
“apa menurutmu marah itu baik?” Def melayang-layang di udara. Ia tersenym jenaka. Kalau tak mengingat ia maya, ingin rasanya kubenamkan kepalanya ke dasar danau buatan, kemudian menahan kepalanya 5 hingga 10 detik, agar ia mau serius dengan pembicaraan kami. Oh, kuralat. Kalau tak mengingat ia adalah aku, ingin kupecahkan kepalanya pakai palu.
“tentu saja tidak. Tapi aku tidak bisa lagi mengendalikannya. Habis sudah kesabaranku menghadapi anak itu. Dan di saat aku marah itu, adapula rekanku yang nyolot. ‘dia kan Cuma bertanya, kak’, ujarnya. ‘kok marah-marah kak. Puasa ini. Minum la, udah batal tuh puasanya’ begitu katanya. Aku merasa emosiku dipermainkan, Def. Kupikir-pikir, siapa pula dia hingga berhak menghakimi puasaku. Sudah tahu dia parameter batalnya puasa rupanya? Apa sudah paham dia kadar iman seseorang? Tuhan saja tak pernah menjustifikasi sekasar itu tanpa melihat sebab musababnya”.
“trus?”. Bahh… berpanjang lebar aku bicara Def hanya bertanya satu kata singkat saja?
“well, sekarang kutanyakan padamu, apakah kau tak terganggu manakala ketika kau marah, orang-orang di sekitamu ikut bicara dan memainkan emosimu?”
“jelas saja aku terganggu. Bahkan aku tak suka jika aku belum selesai bicara, ada yang menyela”.
“nah, so what? Tindakanku sudah benar kan?” tanyaku sambil mengangkat kedua tangan setinggi dada dengan telapak membuka.
“aku paham permasalahanmu dan cukup mengerti perasaanmu, Na. Meski demikian, aku tak bisa membenarkan. Maksudku begini. Kita sama-sama tahu, marah adalah sikap yang sangat sulit di tahan. Namun marah harus dihindarkan walaupun dalam keadaan ‘sudah pantas’ marah. Bahkan berkali-kali telah diingatkan Allah dalam Al-quran, yang kalo aku tak salah bunyinya begini”. Kulihat Def berusaha mengingat-ingat firman Allah.
‘(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan’. (QS. Ali Imran - 134)”
‘Makin hebat nampaknya si Def ini’. Aku bergumam sendiri.
“Sampai-sampai Nabi Muhammad pun turut mengingatkan perihal marah ini berkali-kali”, tambah Def.
‘Dari Abu Hurairah Radliyallaahu‘anhu bahwa ada seseorang berkata: Wahai Rasulullah, berilah aku nasehat. Beliau bersabda: “Jangan marah.” Lalu orang itu mengulangi beberapa kali, dan beliau bersabda: “Jangan marah.’ (Riwayat Bukhari).
“Dan untuk kejadian yang kau hadapi barusan, aku juga tidak akan menyalahkanmu. Silahkan jika menurutmu itu wajar. Sudah terjadi, untuk apa disesali. Kau hanya perlu menyadari dan berjanji, kelak marah tak akan kau lakukan lagi. Karena akan banyak orang yang tersakiti ketika kita marah. Lagipula, efek marah hampir selalu tak baik. Whatever, aku salut padamu karena langsung minta maaf saat kejadian itu. Tindakan yang sangat berani, girl”.
Aku tahu, Def tulus mengucapkan kalimat terakhir itu padaku.
“selanjutnya, kau harus belajar menyesuaikan diri dengan ‘sikap’ orang lain Na. Karena tak semua orang di dunia ini, meski usia dan gelar bertambah, cukup peka, mengerti, bijak dan dewasa. Beruntunglah kau yang dilimpahi Allah dengan sikap pengertian, peduli, dan berakal”.
Mendengar ucapan Def, aku jadi teringat nasehat almarhum atok. “banyak manusia, tapi hanya sedikit yang pandai menggunakan akalnya”. Itu juga yang diulang-ulang ayah saat menasehatiku.
“bukan berarti aku mengatakan rekan-rekanmu itu tak berakal. Tapi, beruntunglah kau dilahirkan oleh orangtua yang cerdas, didekatkan dengan orang-orang cerdas dan berakal pula” kata Def lagi. “jadi, alangkah buruknya jika bekal itu kau lunturkan hanya dengan amarah”.
Kemudian aku memeluk Def, terharu dengan nasehatnya. Tapi aku mendapati bahwa aku malah memeluk diriku sendiri. Entahlah, yang jelas Def membuatku lebih baik.
“terimakasih Def” ujarku pelan agar tak terdengar orang dan juga supaya mereka tidak menyebutku gila.
***
Tips agar tidak marah yang kuambil dari berbagai sumber:
* Baca ta’awudz (a’udzubillahi minasy syaithoonir rojiim) sebab setan membisikkan manusia untuk berbuat dosa termasuk marah. Berlindunglah terhadap Allah.
* Bersabarlah. Tahan kemarahanmu
* Diamlah
* Jika berdiri, duduklah.
* Jika masih marah, berwudlu’-lah
* Jika terpaksa bicara, beritahu dengan cara yang benar. Misalnya: Kalau melakukan ini caranya begini sambil memperagakannya. Jangan panjang-panjang cukup 2x. Kalau kesalahan masih terulang, ulangi lagi nasehat tersebut. Hindari menggelari orang dengan sebutan yang kita sendiri tidak suka, seperti bodoh, dan sebagainya.
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
“Orang kuat itu bukanlah orang yang menang bergulat, tetapi orang kuat ialah orang yang dapat menahan dirinya ketika marah.” Muttafaq Alaih.
Semoga kita bisa mendapatkan Ridho-Nya. Amiinn ...
0 komentar:
Post a Comment