c'mon comrade

Thursday, August 25, 2011

diistirahatkan

“ayo bang, buka rapatnya” ujar Redakturku . Saat aku menuliskan cerita ini, lelaki berperawakan gendut itu sudah mantan redakturku. Sebut sajalah namanya Rino.

“eh, kok aku?” jawab kepala kantor. Aku tak tahu tepatnya posisi beliau ini sebagai apa dan divisi apa. Selama aku bekerja di sana, lelaki separuh baya itu datang siang hari, pulang sebelum ashar. Kerjanya, menginstal komputer, mendownload server, dan acapkali kudapati ia menyapu halaman dan pernah pula mencuci piring. Aku kurang paham aku apa tufoksi beliau. Sebab, manajemen organisasi di kantor tempatku bekerja, tidak mengenal adanya struktural. Tapi kupikir, jangan-jangan mereka memang tidak menginginkan adanya struktural profesional agar posisi tak bergeser.

Perusahaan keluarga? Tidak juga. Karena tak seorangpun pekerja, mulai dari kanvaser, fotografer, administrasi, promosi, marketing hingga wartawan, berhubungan famili dengan owner perusahaan. Bau kunyit pun tidak. Setahuku, lelaki gendut yang berprofesi sebagai redakturku tadi, sudah kenal lama dengan ownernya. Bahkan sejak perusahaan yang berkonsentrasi di bidang media (tabloid fashion) itu dibuka. Begitu pula dengan lelaki separuh baya yang aku tak tahu kerjanya. Beliau adalah teman dekat owner semasa SMA.

“kau lah. Jangan aku”. Lanjut lelaki paruh baya tadi. Aku tulis saja namanya Deni.

Bingung aku dibuat ulah dua orang lelaki ini. Sangat bertele-tele dan terkesan takut menyampaikan sesuatu. Padahal tampangku cukup tegas untuk mendengar segala hal berbau kepedihan dan kabar buruk. Aku menoleh keduanya, heran. Padahal rapat khusus ini dijadwalkan kemarin, tepatnya hari selasa, 23 Agustus 2011, pukul 03.30 pm. Tapi diundur menjadi hari rabu, karena lelaki paruh baya tak bisa datang. Aku terlalu lama menunggu ‘rapat penting’ yang mereka agendakan. Hingga saat itu tiba, rapat masih ditunda. Akhirnya ‘rapat penting’ itu terlaksana pukul 05.45 pm.

“abanglah. Buka dulu rapatnya” kata Rino.

“ya udah, kalau gak ada yang mau buka rapat khusus ini, biar aku yang buka dan mulai ya”. Tegasku hingga membuat mereka tersentak. Segera Deni angkat bicara.

“assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh”. Ucapnya pelan dengan lapadz ‘r’ yang tak sempurna. “Berhubungan dengan rapat ini diadakan, karena ingin menyampaikan hal penting”. Singkat saja, kemudian ia mengarahkan tangannya pada Rino. “Baiklah, silakan dilanjutkan”.

“sebelumnya, kita minta maaf karena kerjasama dengan Naina kita cukupkan sampai di sini”. Aku yang sudah feeling dari sebelum cerita ini terjadi, datar-datar saja, tidak merasakan sentakan. “terimakasih juga dengan sumbangannya untuk Tabloid Youngs Medan”.

“Ohh… rapat untuk pemecatan. Bilang yang tegas donk bang. Berita pemecatan bukan untuk diundur dan dimain-mainkan. Tapi itu berita penting”. Aku tertawa wajar, untuk menenangkan situasi dan melumerkan ketakutan antara mereka. “intinya aku diberhentikan dari sini kan”.

“iya” jawab Rino. “alasannya, karena tulisanmu gak bagus, gak pantas di tabloid ini, dan gak seperti yang aku inginkan”.

What? Gak bagus katanya? Alasan yang dibuat-buat. Sebulan setelah aku bekerja di sana, aku sudah tahu kalau Rino tendensius padaku. Di tulisan terdahulu, sudah aku katakan bahwa aku selalu diberikan pertanda tentang apapun yang terjadi dalam hidupku. Sangat peka menangkap gelagat, sangat perasa pada tiap orang berbuat. Dan Rino, ia tak suka padaku. Ia takut aku mengambil posisinya. Ia takut terancam akan di depak dari perusahaan yang memang sering sakit perut itu. Mengambil istilah dalam kedokteran, perusahaan itu sudah mengidap muntaber jauh sebelum aku menjadi kuli tinta di sana.

“paling fatalnya, waktu ada liputan gadget, tapi Nai menolak untuk liputan. Padahal seharusnya wartawan harus siap 1x24 jam kapanpun dibutuhkan” tambahnya. “di sini memang tidak ada surat peringatan atau teguran, tapi evaluasi kerja dan tulisan. Kinerja dilihat tiga bulan kedepan sejak bekerja”.

Aku ingat, kira-kira lima hari lalu, ia menyuruhku liputan gadget (peluncuran ponsel merk Next-G) di Komplek Asia Mega Mas. Namun aku menolaknya. Aku punya alasan untuk itu. 1. Sangat mendadak, karena ia menugaskan liputan itu pukul 05.45 pm. 2. Aku juga ada liputan Danone Aqua di Swiss Bell. 3. Tulisan yang kukirim juga sudah banyak, melebihi tugasku. 4. Rupanya hanya aku yang ia tugaskan. Padahal masih ada satu wartawan lagi (lelaki), namun tidak ia kabari. 5. Aku mau buka puasa.

Oya, sebelum cerita pemecatan aku lanjutkan, aku beritahukan sedikit sejarah perusaan. Singkatnya, sudah dua tahun perusahaan itu berdiri, namun masih makan dari uang subsidi. Menyedihkan memang. Tak ada vendor atau provider yang bernyali beriklan di sana. Sebab oplahnya kecil, cuma 3000, tak lebih. Parahnya lagi, pembacanya minim dan sangat sedikit masyarakat mengenal nama Tabloid ini. Jujur saja, aku punya pegalaman memalukan ketika wawancara dengan narasumber. “baru dengar saya nama tabloid ini” ujar beberapa dari mereka. Mereka pikir, aku wartawan gadungan.

Miris. Namun ketimpangan itu disebabkan tidak adanya manajemen organisasi, hilangnya standar operasional prosedural serta tidak adanya tugas pokok dan fungsi. Sering rapat diadakan, tapi berhujung pada curhat colongan. Jauh dari aksi membahas masa depan perusahaan. Lagi-lagi tanpa berniat subjektifitas personal dan tendensius internal, ini adalah kesalahan atasan atau owner perusahaan. Sangat tidak tegas memimpin, tidak terlalu peduli, tidak mengayomi, kurang ide cerdas, serta tidak memahami perusahaannya sendiri. Aku sangat menyayangkan hal ini. Tapi apa boleh buat, aku hanya kuli tinta di sana.

Sejak awal, aku sangat tahu sikap Rino padaku. Memang ia tak pernah bicara, tapi aku pandai merasa. Begitulah. Mungkin ia tahu kalau aku sangat kritis dan frontal meski sikap itu aku samarkan. Sebodoh-bodohnya manusia, tapi ia pasti punya sinyal jika dirinya dalam keadaan bahaya. Kemudian, ia ciptakan alasan untuk mendepakku.

“bang Harun (owner) sedang umroh memang. Tapi ini sudah aku bicarakan. Katanya semua diserahan padaku, dan beliau hanya menunggu hasilnya”. Sepanjang ia bicara, tak sekalipun ia menoleh ke arahku. Bukan apa-apa sih. Katanya ia terkena penyakit salah tidur hingga menyebabkan kepalanya miring ke kiri. “okey, bang Deni ada yang ingin disampaikan lagi?”

“gak ada. Aku sih ikut redaksi aja. Kalau begitu keputusan redaksi, ya sudah”. Ujar Bang Deni. Aku hanya tersenyum. Mereka begitu grogi berhadapan denganku. Kurasa aku semakin tangguh menjalani hidup. Lebih siap, juga lebih ikhlas. Mungkin itu sebabnya mereka kehilangan kendali hingga grogi bicara padaku. “tapi Nai seringlah main-main kesini”.

“main apa bang?” tanyaku mencoba mengerti maksud perkataannya. “apa boleh main internet sepuasnya?” kupertegas pernyataan dengan tanya sambil menyelipkan tawa. Tapi bang Deni diam seribu bahasa. Keceplosan bicara kali ya.

Untuk menebus rasa malu dan bersalah, harusnya tak seperti itu. Biasa-biasa sajalah. Kaku sekali mereka. Aku yakin, bahwa pemberhentianku sama sekali tak ada hubungannya dengan tulisan dan kinerja kerja. Sekali lagi, aku yakin dengan keyakinanku. Hanya Tuhan, aku, dan pembaca tabloid yang tahu bagaimana tulisanku dan semampu apa aku menembus nara sumber. Untuk berkoar-koar di sini, rasanya terlalu picik dan merusak citra.

Jadi, alasan tersebut, hanya direka-reka saja supaya aku out. Sebab tidak mungkin kan, kalau pemecatan didasarkan pada rasa tendensius dan kebencian?

“tapi kita juga terima tulisan-tulisan Nai di tabloid ini. Juga usul dan idenya” ucap Rino. Tak ada rasa malu di wajahnya ketika mengucapkan itu. Padahal baru saja ia mengucapkan bahwa tulisanku tidak bagus dan tidak pantas untuk tabloid itu. sungguh kesalahn yang fatal.

Selain itu ia juga meminta ide dan pemikiranku. Kalian dengar itu? Apa dia pikir ide, pemikiran dan gagasan bisa diperoleh cuma-cuma alias gratis? Buah pikiran itu sangat mahal harganya sodara-sodara. Berani bayar berapa mereka dengan ide-ideku yang hampir selalu jitu dan segar itu? Huhh…! Idiot…!

Dan menerima cerpen pula katanya? Dibayar pake baju kaos bertuliskan Tabloid Youngs Medan yang harganya 20 ribu itu? Sorry ya…! Aku punya banyak stok kain lap di rumah.

Akhirnya, aku resmi diberhentikan setelah bekerja selama empat bulan. Keren ya. Track record yang luar biasa. Mungkin ayahku akan tertawa mendengar berita ini. Atau mungkin ia akan geleng-geleng kepala? Sulit diterka. Orang yang cukup sulit aku selami perkataan dan tindakannya adalah ayahku. Beliau sangat misterius, pelit bicara. Makanya unpredictable. Tapi aku tak pernah berhenti belajar mengikuti gayanya.

Well, kemana langkahku selanjutnya? Nantikan saja ya. Akan aku kabarkan pada kalian. Jangan takut, aku semakin terbiasa menghadapi perit hidup. Pemecatan itu, keripik lah. Masih jauh dari apa yang dulu pernah kurasakan saat terjerembab dari puncak kekuasaan.

Yang pasti akan ada cerita seru, mengharu biru.

Love

Na


0 komentar:

Post a Comment

 
Free Host | lasik eye surgery | accountant website design