c'mon comrade

Tuesday, August 9, 2011

Cerita tentang jam tangan


Sekitar pukul 03.30 sore, aku singgah ke toko jam tangan Hendrik di jalan Setia budi, Medan. Mau ngebetulin jan tangan merk Westar peninggalan almarhum emak. Jam Westar itu dibeli ayah dari kuala Lumpur, Malaysia dan diberikan ayah untuk emak 25 tahun silam. Jamnya masih sangat bagus. Bersepuh emas, kacanya tebal berbentuk kerucut, dan di dalamnya berhiaskan permata.

“kalo dijual, harganya bisa satu juta lebih. Karena kalau jam tangan ini dibeli baru, harganya bisa 3 juta-an”, papar ayah suatu ketika melihat jam tangan Westar terletak begitu saja di atas lemari pakaianku. Padahal jam tangan itu kuletakkan dalam kotak kecil bening bersama dengan tumpukan jam tanganku yang lain. Tapi ayah tetap tak setuju, sedih dan kesal melihat caraku memperlakukan jam tangan itu.

“itu ayah kasi ke Nana, untuk nana perbaiki, dijaga agar gak rusak dan bisa dipakai lagi”, lanjut ayah sambil membolak-balik jam tangan tersebut. Diperhatikannya seksama, diangkatnya ke atas agar terbantu penerangan cahaya lampu.

“gak rusak kok yah… Nana janji, akan Nana perbaiki”. Aku merasa bersalah. Tiba-tiba saja kesedihan menyelinap ke dalam pikiranku. Hatiku mencelos. Sedih teringat bagaimana emak sangat menjaga segala harta dan titipan ayah, dari anak-anak, perabotan rumah, uang belanja, hingga hadiah. Jam westar ini, emak sangat mengaguminya. Cantik dan elegant. Sangat pantas di tangan emak. Tapi emak tidak mengenakannya setiap hari. Kalau hari-hari lain, misalnya mau pergi ke pasar, mengambil raport kami, jalan-jalan sekitar kota Tanjungbalai, emak hanya mengenakan jam tangan kecil berwarna hitam yang terbuat dari kulit-kulitan. Kalau tidak salah, harganya cengdem alias se-cheng adem. Jam tangan itu sangat sederhana. Tapi kata emak, bisa dipakai di segala suasana dan di setiap keadaan.

“kesederhanaan itu memberikan kenyamanan” ujar emak saat kutanyakan mengapa masih suka memakai jam tangan mungil itu. “tapi emak sangat suka jam tangan ini” tunjuk beliau pada jam tangan westar “karena hadiah dari ayah”. Emakku tersenyum dan membersihkan permukaan jam tangan Westar.

Itulah emakku. Beliau sangat low profil meski bergelimang harta. Sangat rendah hati, bijaksana, dan mengagumkan meski dikelilingi kekayaan. Berada di dekatnya, rasanya waktu terlalu cepat berjalan. Kau seperti ingin duduk berlama-lama di dekatnya. Bicara tentang cinta dan kasih sayang, bercerita tentang perjuangan hidup, ngobrol tentang kesulitan dan penderitaan, tertawa dan bercanda bersama, dan akhirnya jarum jam berputar semakin cepat menuju pukul 05.30 pagi.

“Innalillahi wa inna ilaihi roji’un…” Ayah memanggil-manggil nama emak. Kemudian air mata lelaki penyayang itu menetes perlahan dalam diam. Tiap bulir yang tumpah, serentak dengan ia menyebutkan asma Allah. Emak telah berpulang pada pukul 05.30 tepat, tanggal 5 Agustus 1999, sehari setelah ulang tahunku. Di hari itulah ayah memberiku jam tangan Wetar, jam tangan pemberian ayah, sekaligus kesayangan emak.

“kak, pilih yang mana kakak mau” ujar Putri, teman sekantorku begitu aku tiba di kantor, ia langsung memperlihatkan padaku 6 buah jam tangan oleh-oleh dari Bukit Bintang, Malaysia. Lima hari yang lalu, ia berangkat ke Kuala Lumpur bersama keluarganya yang sudah bermukim lama di sana.

Lalu aku pilih satu buah jam tangan sederhana berwarna putih, terbuat dari karet dan bermerk Ripcurl kw 11. Lagak juga aku memakainya. Seperti kata emak, ‘kesederhanaan itu memberikan kenyamanan’. Dan aku merasa nyaman dengan Ripcurl kw 11. Sementara Westar masih diperbaiki, akan kupakai dulu jam tangan pemberian Putri.

Thanks mom’, telah mengajarkanku arti kesederhanaan,
Thanks dadd, telah mengajarkanku cara menghargai setiap pemberian,
Thanks Putri, telah mengingatkan kembali cerita jam tangan lewat sebuah Ripcurl.

0 komentar:

Post a Comment

 
Free Host | lasik eye surgery | accountant website design