Pekerjaan terkadang bisa membuatku geregetan dan sering pula membuatku kelelahan. Namun, semua harus kujalani sebab aku mencintai laku ku di dunia tulis menulis ini. Meski salary tak sesuai dengan UMR yang disabdakan pemerentah, pun tak selaras dengan tuntutan ekonomi, apa boleh buat. Keadaan berbicara. Jadi nikmati saja. Filosofisnya adalah, lelakukan hal terbaik saat ini dengan tidak kemerasung alias ngotot. Sebab hidup sudah digariskan Tuhan. Dan sebagai hamba, aku harus menjalaninya. Jadi mengalir saja. Dengan catatan, tidak diam dan putus asa. Seperti kata Albert Einstein, hidup ini seperti naik sepeda. Supaya seimbang, kau harus terus bergerak.
Memang pada kenyataannya aku sangat tahu apa yang kuinginkan. Ingin jadi apa dan harus bagaimana. Tapi mungkin inginku bukan keinginan Tuhan, mauku bukan kemauan Tuhan. Atau mungkin, Ia menempaku dengan kepayahan, kehilangan kekuasaan, dan kesulitan ekonomi. Mempersiapkan aku dengan bekal yang memadai untuk lebih mantap menggapai puncak tertinggi setelah sebelumnya aku dijatuhkannya ke lembah dalam tak bertuan. Kemudian, sampailah aku dengan tidak sengaja di suatu tempat istirahat (sementara) setelah lelah meraba-raba. Rupanya Tuhan masih sayang. Meski saat berkuasa di salah satu partai politik yang cukup bergengsi (lolos parliement tresshold pula), aku menjelma menjadi Margaret Hilda Thatcher, perempuan tangan besi dari negara Inggris. Tuhan menjatuhkanku pada pekerjaan sebagai wartawan untuk kali kedua. Ya, wartawan style dan fashion di sebuah tabloid remaja. Sebelumnya aku menulis berita ekonomi usaha kecil menengah, sekarang aku berjibaku merangkai kata, menyusun paragraf, serta membentuk paragraf menjadi cerita tentang fashionista.
Bertolak belakang? Tidak menurutku. Sebab kenyataannya aku menyukai dunia fashion dan tetek bengeknya. Apapun yang datang di tiap zaman, hampir selalu membuatku penasaran. Bisa saja aku bela-belain membeli semua model fashion tersebut sekalipun tak begitu pantas aku mengenakannya. Seperti celana hareem atau celana aladin, hoody atau baju bertopi yang dulunya dipakai oleh buruh, sepatu widges yang hak nya mirip kapal, atau gelang Paris Hilton yang ramai dan berjuntai. Hmmm…, banyak lagi model aneh dengan nama yang aneh pula. Hebatnya, aku menikmati sensasi yang diberikan oleh style dan fashion tersebut hanya dengan melihatnya. Mataku mengerjap tatkala mendapati bagian dan pola yang unik, bibirku berdecak kagum saat retinaku tetumpu pada warna-warna cerahnya, namun kepalaku menggeleng-geleng lemah ketika dihadapkan pada realita, bahwa isi dompet tak mengijinkan aku dengan mudah memiliki mereka. Aku pun nelangsa.
“masih untung bisa melihat dan menikmati meski belum bisa memilik. Jadi aku bisa membayangkan mereka tiap hari hingga aku bosan dan tak menginginkannya lagi” batinku.
Lagipula, fashion bisa disandingkan dengan politik. Sebab fashion adalah seni, begitu juga politik, melakonkannya harus dengan seni. Keduanya saling membutuhkan.
Rumus matematiknya adalah, seni = fashion + politik. Kesimpulannya, ketika dua hal yang sejenis saling berhadapan dan membutuhkan, berarti pantas dikawinkan. Penjumlahan ini memakai cara hitung assosiatif bersyukur.
Kau tahu tidak? Aku selalu berusaha mensyukuri hidup ini meski sebetulnya sangat payah untuk menyadari segala nikmat yang telah Ia beri. Tapi juga hampir selalu aku mampu untuk melakukan itu.
“fa bi ayyi alaa irobbikuma tukadzziban…(nikmat Tuhan yang mana lagi yang kamu dustakan)”. Begitu penggalan dari surah Ar-rahman yang sering kubaca dan kudengarkan. Akhirnya, aku merasa sangat beruntung menjadi diriku karena berhasil menempatkanNya diatas segalanya. Bagaimana dengan fashion-fashion itu? Sudah tidak perlu.
Begitulah… Saat ini aku hanya bisa seperti ini. Menjadi orang gajian sebagai kuli tinta, mengerjakan hal biasa, dan ya, tidak terlalu istimewa. Intinya, aku tidak merepotkan orang lain serta masih bisa membantu sesama walau sekedarnya. Kupikir, aku sudah bekerja semampuku meski belum sepenuhnya. Tapi bukan berarti aku berhenti sampai di sini.
Perempuan sepertiku dan sebagai anak ayahku, selalu tidak puas terhadap apa yang telah aku peroleh. Bukan karena tidak bersyukur. Hanya saja, aku sangat tahu bahwa Tuhan memberikan bergunung kemampuan, berjuta potensi, milyaran ide cerdas, dan trilyunan kekuatan padaku. Jadi, bodoh sekali rasanya kalau semua anugerah itu tak kugunakan untuk kebaikan, menumbuhkan kepedulian, serta mengalirkan rasa cinta dan sayang.
Untuk sementara, ‘jeda’ disini saja. Masih ada hari esok. Sambil menyongsong hari esok tersebut, aku akan mempersiapkan bekal agar tak tegelincir lagi pada jalan kesesatan dan kemungkaran.
“angkuh dan sombong adalah pakaian Allah. Jangan pernah sekalipun kau gunakan jika ingin selamat dalam mengarungi kehidupan” kata ayahku.
Aku yang seperti ini adalah suratan tangan Tuhan. Dia punya kuasa atas segalanya. Tuhan tahu apa yang ada dalam hati dan pikiranku. Tuhan tahu cita-cita dan harapanku. Tuhan tahu apa tujuan dan keinginanku. Aku sangat yakin itu.
Hari ini, bukan akhir. Tapi persiapan menuju gerbang selanjutnya. Harus siap-siap dari sekarang menanti datangnya kereta. Cita-cita dan harapan, (insyaAllah) akan sampai di genggaman.
Tuhan, peluk mimpiku.
Na.
0 komentar:
Post a Comment