Kemarin lalu, secara sengaja aku bertemu sahabat lawas. Berhubung dia ada meeting di Medan, kami janjian mengadakan pertemuan. Namanya Romi, seorang lelaki asli betawi, jangkung, berkacamata minus 2, dan, cukup cerdas di bidangnya menurutku. Dia pengusaha sawit di Kalimantan. Hobinya menganalisis setiap orang (bahasa yang diperhalus untuk tidak menyebutkan menghina), tennis, dan makan. Karena sudah 3 tahun tidak bersua, terjadilah percakapan menyebalkan setengah jam antara kami. Dan setengah jam ini pun, susahnya minta ampun kuhentikan.
Romi, ternyata si jangkung itu sudah menungguku di Q tiam Café, Sun Plaza Lt. 3. Tetap style seperti dulu, jambang tipis tanpa kumis, jeans belel biru plus t-shirt Polo hijau tua. Ada yang berubah, dia semakin rapi, klimis, wangi. Aku sempatkan mencuri cium aromanya, aku yakin tidak salah tebak, pastilah dia memakai Ralph Laurent Safari. Wanginya didominasi aroma kayu khas dari Kepulauan Pasifik Selatan, berbahan dasar aroma pohon atau kulit pohon seperti sandalwood, rosewood, birch, kayu manis dan pinus. Wewangian yang lekat dengan kesan eksotis dan hangat, pas sekali mewakili karakternya, cool dan bersih.
“masih single juga??” preambule question, bahkan sebelum aku duduk. Tangan kiri melipat ke perut dan tangan kanan memegang dagu, sambil mengamat-amatiku dari ujung atas jilbab (oya, sekarang aku sudah berjilbab alias berkerudung) hingga ke dasar high heels. Memangnya aku makhluk planet Mars, maka itu dia memandang-mandangiku dengan mata membuka dan mulut menganga setelah mengucapkan kata ‘juga’ yang ber-vocal ‘a’?!!
“iya! Kenapa? Heran?” aku balas ia dengan logat batak sambil memelototinya. Tapi tidak menganga, karena huruf terakhir yang aku sebutkan adalah konsonan ‘n’.
Mendengar jawabanku, dia tertawa sekencang-kencangnya sambil memukul-mukul meja café tempat kami menyantap teh tarik dan prata. Itu membuatnya aneh, matanya menyipit dan giginya berkeluaran, kelihatan seperti kucing minta kawin! Bahkan kalau tidak kuingatkan, mungkin dia juga akan mematahkan meja tersebut saking gembiranya!
“gw sudah punya anak dua, kamu malah belum nikah juga, Hil ??!” masih dengan ketawa menyebalkan itu.
“belum donk! Kau ini, suur kali ketawamu. Aku masih 25 tahun. Masih imut! Umurmu sudah 25 tahun lebih 7 bulan, lebih tua dariku.” gaya bahasa pe-de yang dipaksakan, adalah senjataku untuk menutupi grogi. “kau kan mau enak-enaknya aja makanya merit!”
“iya donk. Karena enak, makanya gw cepat nikah Hilda sayang.. Bisa berduaan tanpa buat marah Tuhan, bisa diskusi tiap hari, bisa marah-marahan, bisa sayang-sayangan, bisa merancang kesuksesan bersama, bisa lebih paham tujuan hidup, makan terjadwal, minum kopi tepat waktu, ada yang ngomel-ngomel tiap pagi, dan banyak lagi yang gak gw sebutin” dengan mata menatap langit sambil senyum-senyum bangga.
“oya, adalagi, ngerasain susah sama-sama, sholat sama-sama, dan kalo sudah punya anak kayak gw ni, semua capek dan susah yang gw rasain, langsung hilang begitu aja” kali ini dengan gaya meyakinkan dan sok mempesona padahal membuatku mati rasa “sekarang, kamu punya dua ponakan, Hil. Ntar, anak-anak gw manggil lo, ‘tante’, dan kalau tua nanti lo gak nikah juga, anak gw manggil lo ‘nenek’, cocok kan??”
“hoii, rusuh kali kau, Rom. Namanya belum jodoh, belum ada yang mau sama aku” peperangan psikologis antara marah, cemas, takut, malu, dan perasaan ingin membenarkan ucapannya.
Dia tertawa lagi. Mungkin ini juga salah satu hobinya yang baru kutemukan. Kemudian, “Hil, jangan ke-asikan milih-milih.. Sendiri tuh gak enak..” Dihabiskannya lime squash dingin sekali teguk. “apalagi yang ditunggu?”
“nunggu dilamar..!” singkat, lalu kutinggalkan saja Romi, kali ini dia tersenyum-senyum geli. Kesal betul aku mendengar ocehan-ocehan dan sindiran mautnya.
“apa kamu masih setia menunggu ‘bule’?” jeritnya, tidak peduli pada tatapan muak penghuni café. Alis tebal ciri khasnya itu bertaut erat, penuh tanya, memelas berita dan fakta.
Berusaha untuk tidak mengikuti tabiat berbohong anggota DPR, akhirnya ku jawab spontan “aku belum mencoret kemungkinan itu..!” dan jawabanku itu makin membuatnya tertawa lebih kencang, persis seperti orang gila di jalan raya. Parah..!
Sore itu, dalam perjalanan menuju basement parkiran sepeda motor, Sun Plaza semakin ramai disinggahi manusia berbagai style dan gaya. Semakin padat saja. Mereka berpasang-pasangan, berombongan, berkeluarga. Kulihat suami istri yang menggendong anaknya, lucu-lucu dan menggemaskan. Ada pasangan muda yang bergandengan tangan mesra, membuatku marah sekaligus benci. Ada kakek-kakek dan nenek-nenek yang bersama cucu mereka, tertawa-tawa sambil makan ice cream. Mereka tersenyum-senyum padaku sambil berbisik-bisik. Meski ada juga sebagian dari mereka berteriak,
“Menikahlah, Hilda… Menikahlah…!!”.
Semakin aku lari, semakin suara itu tak mau pergi. Mendentum-dentum di telinga kanan dan kiri. Ku tutup telinga, mereka pamer-pamer kemesraan, membuat iri hati dan panas mata. Mereka memanggil-manggil kencang, bahkan lebih kencang, begitu riuh dan memekakkan. Terburu-buru aku berlari, tapi semua mata memandangku. Bahkan kini, semua penghuni plaza meneriaki ku.
“Hilda… Menikahlah...!!!”
Suara itu makin berisik dan mengganggu. Namun aku tak mungkin bisa menutup mulut mereka. Satu hal yang harus kulakukan adalah secepat-cepatnya pergi dari tempat yang memuakkan ini. Kustartar sepeda motor, agar keanehan-keanehan di plaza bisa terhindar.
“mbak, mbak, bayar parkirnya 3000 rupiah!” tegur parking man diiringi bunyi klakson sepeda motor dibelakangku yang marah-marah karena ‘sikapku’ membuat mereka lama antri. Keadaan itu menghentakkan khayalanku. Rupanya aku berhalusinasi. Dasar Romi sinting..!! Gumamku dalam hati. Namun kupikir-pikir, dia benar juga. Aku tak boleh lagi main-main dalam hidup. Aku harus segera menikah.
*cerpen dimuat di tabloid youngs medan, tabloid remaja dwi mingguan
0 komentar:
Post a Comment