January, ternyata cuaca tak seperti yang biasa diramalkan para penganut paham ‘ber-ber’. Masih pancaroba, dimana siang hari sangat panas, dan di malam harinya menjadi sangat dingin disertai hujan dan angin barat.
Pagi ini, seperti pagi-pagi sebelumnya, matahari merayap naik memancarkan sinar garangnya. Amat terik dan menyengat. Membuat saya betah bermalas-malasan di rumah sambil menulis apa yang ada dalam kepala. Padahal di kamar, baju-baju masih berserakan minta segera diperlakukan dengan layak. Tapi persoalannya, saya lebih menikmati menulis daripada berurusan dengan baju-baju tersebut. Hanya menatap mereka dengan lunglai dari balik pintu, kemudian saya kembali ke ruang kerja meneruskan tulisan yang seringkali tertunda. Baju-baju tersebut meratap, meronta-ronta.
Saya jadi teringat sesuatu sewaktu bekerja di salah satu media bisnis di kota Medan ini. Ada yang lebih suka panas daripada hujan. Beliau yang akan saya gosipkan ini adalah rekan kerja saya, abang, teman sekaligus sahabat yang paling mengerti saya, meskipun tidak inside out dan outside in.
Faris Tanjung namanya.
Kata si abang ini, panas membuatnya lebih semangat melakukan apapun khususnya pekerjaan. Jiwanya lebih terbakar untuk menyelesaikan proyek-proyek dari kantor. Oh ya, beliau lebih senang menyebutnya dengan proyek. Tapi saya tak cukup paham entah proyek seperti apa yang sedang ia bereskan. Tahu-tahu ia sudah ngopi di Ulee Kareung-Banda Aceh. Kemudian hari berikutnya ia bertengger di Meulaboh. Selanjutnya sudah berada di Medan lagi. Mungkin sahabat saya ini termasuk dalam jenis manusia purba zaman Paleolitikum, yang mana mereka penganut paham Nomaden alias senang amat sih berpindah-pindah.
“semangat sih semangat, Dinn. Tapi dalam hal lain” katanya suatu hari di kantor media jalan Warna.
“dalam hal lain itu apa?” dengan polosnya saya bertanya.
“yah itu…”. Ia langsung menyuap es krim puding, dessert kegemaran kami.
Kemudian saya menemukan satu jenis lagi dalam hidupnya, yaitu penganut aliran alm. Aom Kusman. Itu loh, pembawa acara paling keren -kuis ‘siapa dia’-, yang setiap acaranya selalu ada tebak-tebakan orang di balik layar
“jadi maksudnya apa?” dahi saya berkerut, nyengir. “bener-bener membingungkan”.
“penasaran amat sih jadi orang” katanya.
“lah iya. Sapa suruh main tebak-tebakan” sambar saya.
Saya lihat mimik wajahnya rada aneh ketika akan menjelaskan tebak-tebakkan tadi. Agaknya, kesulitan ia mencari kata-kata.
“okey, kalau gak mau kasitau, Dinna pulang!” saya mengancam.
“iya, iya abang kasitahu”, ia menyerah.
Saya tertawa, ia nelangsa.
“begini Dinna Norris…” terangnya dengan gaya sabar seorang guru TK menjelaskan cerita pangeran dan cinderella pada anak balita.
“Kalau untuk orang yang sudah berumah tangga itu, dingin-dingin adalah salah satu keadaan yang paling ditunggu selain malam Jumat”. Ia menarik napas berat.
"sudah paham?” tanyanya.
Saya menggeleng lemah.
“OH MY GOD!” dengusnya kesal. “itu artinya DETIK-DETIK UNTUK BUAT ANAK!”
Saya tertawa sekencang-kencangnya karena ia bersusah payah menjelaskan pada saya tentang ‘semangat dingin’, sambil berteriak pula. Baru saya paham, ternyata yang ia maksudkan adalah ibadah suami-istri.
Kala itu, saya 22 tahun. Dalam undang-undang tak tertulis di wilayah barat, umur segitu tentunya sudah sangat boleh melakukan ‘tata cara’ orang dewasa, dari segi apapun, tanpa batasan. Tapi saya tinggal di Indonesia, dididik oleh lingkungan yang tabu dengan ‘sesuatu’ itu.
Sahabat saya ini memang gokil dan gemar bercanda. Dari sekian banyak teman yang saya punya, rasanya cuma beliau yang pantas saya sebut sebagai sahabat. Padahal kedekatan kami hanya 6 bulan saja, sejak saya memutuskan keluar dari perusahan media tersebut.
Saya butuh sahabat? Entahlah, tapi rasanya tidak begitu penting karena saya sudah memiliki Tuhan dan sahabat terbaik dalam hidup yaitu #NorisFamily. Ataupun kalau saya punya, seingat saya ada beberapa. Mereka hanya orang biasa, sangat jarang bertemu muka, apalagi bersapa kata.
Termasuklah abang Faris ini di dalamnya. Beliau tak pernah meminta atau menagih apapun dari saya. Tak pernah menasehati, menghakimi dan menggurui. Tak pernah menghina dan merendahkan. Sahabat yang paling mengerti dan memahami saya. Jika melihat saya melakukan kesalahan, belaiu tak lantas menegur. Tapi sambil bercanda, beliau paparkan apa yang harus saya lakukan dalam pekerjaan. Terkadang, dengan sukarela beliau meng-handle tugas saya, dan setelah itu meminta saya melanjutkannya sampai selesai. Beliau sangat humble, ikhlas, tulus dan TANPA PAMRIH!
Kepada beliaulah mimpi dan cita-cita saya dendangkan dengan lantang. Jangan salah, saya pernah nangis di depan beliau loh. Iya. Karena saya belum mendapatkan apa yang saya inginkan dalam hidup. Karena mimpi-mimpi yang belum menjadi realiti.
Hal yang tak biasa, yang paling berkesan, dan yang paling membuat saya sering menangis saat mengingatnya adalah, bang Faris menjadi penelpon pertama ketika saya berhasil mencapai salah satu keinginan saya, yaitu, berkuasa dan berperan di partai politik (GERINDRA SUMUT).
“selamat ya Dinn…” ucapnya dari seberang. “akhirnya tercapai juga cita-cita kemarin itu”
Saya terharu. Tak menyangka bahwa ia masih mengingatnya. Tak mengira bahwa ia menempatkan cita-cita saya di atas nampan pualam bertahtakan berlian.
Diam-diam saya mendoakan beliau dalam hati. Agar Allah selalu memberkahi beliau dan keluarganya, melimpahi rezeki, anugerah dan karunia yang tak putus-putusnya.
Begitupun, memori bersama bang Faris telah saya simpan dalam benang-benang pikiran, hingga kini. Andaikan kelak Allah mentakdirkan saya mengidap penyakit Alzemir, dengan sangat saya meminta agar kenangan ini tak ikut sirna. Tak akan saya biarkan hilang meski dunia Allah tamatkan. Supaya hati saya masih mampu mengakui, bahwa rupanya telah pernah ada seorang sahabat yang sangat sahabat dalam hidup saya.
“Apakah mereka benar-benar ada?
Benar-benar hadir?
Ataukah, memang semata-mata hanya ada dalam kontak kita?
Ada yang hakikatnya semu adanya.
Tidak kasat mata, mereka benar-benar ada, namun hanya sekedar sapa.
Ternyata, memang benar adanya, persahabatan itu bukan dihitung atas jumlah dan banyaknya kontak.
Tapi, sejauhmana kualitasnya.
Intinya, persahabatan itu, tidak begitu diperlukan”
Secuil kegundahan saya di atas tentang makna persahabatan yang kian menipis, tak berlaku untuk bang Faris.
0 komentar:
Post a Comment