Bentuk bulan masih sempurna di langit sana, meski cuaca malam itu sangat dingin disertai gerimis tipis. Medan masih cukup ramai. Belum malam saya pulang dari perjamuan SK yang telah direvisi oleh ‘pusat’. Organisasi sayap dari partai yang cukup signifikan dalam kancah perpolitikan di Indonesia. Tertera nama saya disana, ‘Hj. Dina Fitriana Noris’. SK yang telah ditandatangani dan di stempel resmi tersebut diserahkan oleh ketua-nya untuk saya baca. Beliau adalah ketua terpilih (ditunjuk) untuk periode ini.
Semuanya terjadi begitu cepat. Ketika saya berkomunikasi dengan salah seorang fungsionaris Partai Politik pimpinan Jend. (purn). Wiranto di salah satu jejaring sosial media. Karena sesama pemain muda politik, saya dan beliau memiliki ketetarikan satu sama lain. Beliau melihat saya sebagai wanita muda yang berani memilih berkecimpung di dunia yang di dominasi pria, sedangkan saya melihat beliau sebagai seorang maniac politik yang dengan semangat bergelora menyambut kedatangan partai baru-nya itu (yang mana dikemudian hari saya juga akan menjadi bagian di dalamnya). Ya, berawal dari ranah sosial media, berlanjut ke tanah nyata.
Meski demikian, kami berbeda pemikiran dalam memandang politik, dan berbeda tujuan dalam berpolitik. Namun begitu, kami sudah sepakat untuk tidak sepakat meskipun berada di satu kapal yang sama, yang berasaskan demokrasi dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat.
Kami, -saya dan beliau- bertemu di Thamrin Plaza Medan, pusat perbelanjaan yang mana pengunjungnya didominasi oleh etnis Tiong hua. Beliau lebih dulu sampai dari saya. Sudah setengah jam ia duduk dan menghabiskan semangkuk es campur (ini dinamakan ilmu ahli melirik dengan cepat dan tanpa ketahuan).
Plaza ini letaknya persis di belakang stasiun Kereta Api kecil. Boleh dikatakan cukup jauh dari daerah rumah saya. Karena tidak punya kenderaan pribadi, saya diantar oleh becak dengan terlebih dahulu melakukan transaksi keras demi mendapatkan ongkos lebih murah. Ada sekitar 4 becak yang saya tawar. Rata-rata mematok ongkos diatas Rp. 30.000,- sampai Rp. 35.000,-. Akhirnya saya men-stop becak ke-5. Setelah bernegosiasi, ia berhenti sekaligus bertahan pada harga jasa Rp. 25.000,- rute Medan Johor-Medan Thamrin. Saya naik juga ke becak meski dengan berat hati, tak rela membayar mahalnya tarif jasa. Kendatipun saya sadar bahwa harga demikian cukup wajar mengingat jauh dan macetnya jarak yang ditempuh.
Alih cerita, saya teringat dengan adik saya ‘I’. Menurut saya, meski keras kepala, sedikit tak acuh, dan kasar, beliau ini berjiwa sosial yang tak dipaksakan. Jauh berbeda dengan saya. Beliau tidak akan membiarkan saya kepayahan menempuh tempat pertemuan selagi masih ada kaitannya dengan pekerjaan. Beliau rela meluangkan waktu untuk menjadi ‘estafet’ saya di tengah-tengah sempitnya waktu rutinitas sebagai jurnalis. Jika berhalangan dengan jadwal pekerjaan dan waktu ‘curian’ tak lagi bisa dipaksakan, beliau segera berpikir taktis dengan meminjamkan sepeda motornya (ia beri nama si ‘biru’) pada saya. Dengan catatan, saat saya selesai dengan satu urusan, saya harus menjemputnya di tempat yang telah kami sepakati. Ini bukan simbiosis mutualisme, tapi inilah yang disebut kebersamaan dan keterikatan hati.
Di mall ini, baru beberapa kali saya menginjakkan kaki. Wajar saja, sebab saya asing dengan dunia per-mall-mall-an. Bukan berarti saya tergabung dalam kelompok anti kemapanan atau alergi dengan ke-elita-an zaman, hanya saja saya lebih nyaman berada di tengan-tengah kaum urban dan menikmati cara mereka berjuang dalam hidup.
Tapi apa boleh buat, dalam kondisi tubuh yang tidak fit (flu, batuk dan demam) perintah atasan (untuk sekali ini mengingat kami sekalian kopi darat), harus saya penuhi. Dadakan memang. Makanya saya tak sempat (baca: tak ingin merepotkan) adik saya ‘A’ untuk menjemput dan mengantar saya ke Thamrin Plaza.
Tiga jam pertemuan kami lalui, sejak pukul 03.30 pm – 06.45 pm. Bagi saya, merupakan waktu yang cukup panjang untuk perkenalan berikut pembuktian SK. Pada dasarnya saya memang tidak suka lama-lama bercerita, terlebih jika tidak ada hal penting dan bermanfaat yang ingin dibicarakan. Apalagi pada saat itu, suhu tubuh saya semakin panas dan batuk filek semakin menjadi-jadi.
Di rentang waktu tersebut, kira-kira pukul 06.00 pm (sore), entah kenapa HP Nokia 7370 saya lowbatt hingga detik kemudian empty. Padahal saya sudah sangat ingin mengakhiri ‘small meeting’ tadi. Lebih parahnya, HP Nokia 6500s-1 pun ikut mengulah. Keadaannya Hank. Saat saya hendak membuka HP, enam kode akses yang biasa saya entry, ditolak. Otomatis HP tak bisa melakukan percakapan baik sms dan telpon. Yang mengherankan, 20 menit sebelumnya saya baru berkomunikasi dengan adik saya ‘F’, minta dijemput.
Bertubi-tubi sms menyerang saya. Ada sebelas sms masuk, yang entah dari siapa, ditandai dengan ringtone panjang Wana Ben Edeik (Akbar Men Keda)-nya Nancy Ajram. Telpon dari adik saya ‘F’ pun berkali-kali muncul di layar HP. Namun saya tak bisa melakukan apa-apa selain memandang-mandangi telpon tersebut sambil berbisik lirih, semoga HP kembali sembuh sebab saya benar-benar ingin pulang.
Benar-benar hari yang aneh.
Karena HP masih bermasalah, saya memutuskan meminjam HP teman saya (ketua yang saya bicarakan tadi) untuk menghubungi adik ‘F’ agar kami tak miskomunikasi. Berhasil! Ia cukup berprikemanusiaan rupanya. Saya langsung menelpon F. Ternyata ‘F’ benar-benar disibukkan oleh pekerjaannya di salah satu perusahaan Media yang cukup punya nama di kota ini, hingga beliau tak sempat menjemput saya.
“kalaupun kakak mau, saya akan menjemput kakak dan kita sama-sama ke kantor saya. Tapi kakak pasti akan lama menunggu saya di kantor. Mungkin bisa sampai pukul 10.00 pm. Karena saya dan jajaran atas akan rapat malam ini” terang F.
Di satu sisi, kasihan juga saya mendengar usahanya antara ingin menjemput dan setia pada profesionalisme perusahaan. Ke-khawatiran saya akan pemecatan muncul seketika. Dan di satu sisinya lagi, membayangkan kalimat ‘menunggu’ sampai pukul 10.00 pm (malam) itu membuat saya buru-buru menutup harap agar dijemput.
Kemudian F mengarahkan saya menelpon adik saya yang lain, ‘A’, agar menjemput saya ke Thamrin Plaza.
Keadaan benar-benar memprihatinkan.
Masih memegang HP teman saya tadi, sontak saya menelpon A dengan lebih dahulu mengiriminya pesan agar tak kaget melihat panggilan nomor baru. Tak disangka, A menjawab panggilan saya dengan nada tinggi. Ia marah. Segera telpon saya matikan. Namun suara di hujung telpon tadi masih membias di hati. Rupanya kebalikannya, saya pula yang terkejut.
“bagaimana? Sudah ada keputusan akan dijeput?” tanya teman saya. Saya yakin, pertanyaan tersebut bukan menunjukkan kekhawatiran akan ke-belum-pastian nasib saya.
Kegusaran saya tekan-tekan agar tetap tampak tenang seperti tak terjadi apa-apa. Saya alihkan perhatian. Posisi duduk saya geser agak jauh dari meja, supaya bisa berpikir lebih leluasa. Sebab semakin sempit spasi dan letak duduk, hanya akan membuat saya tertekan dan gugup.
Kebetulan, café tempat kami bercerita berada di lantai tujuh. D’ loft namanya. Tempatnya cukup asik meski sangat ramai (tidak sesuai) untuk bertransaksi kekuasaan. Teman saya ini pandai pula mengambil posisi mingle. Menempati meja persegi empat yang menjorok di kanan belakang, di depan saya terhampar pemandangan lazim kota metropolitan dengan gedung-gedung bertingkat, jemuran yang belum diangkat, menara SUTET, juga taman bunga sederhana. Selain itu, mudah bagi saya menatap langit Medan pukul 06.08 (sore) pm beserta ornamen-ornamennya dari balik jendela, dimana seharusnya saya amat menikmatinya.
Kembali saya menelpon A. jawaban yang sama, ia masih marah, menjawab dengan nada kesal, kemudian menutup telpon tanpa sempat saya tuntas bicara. Sibuk saya berpikir dan mencari-cari kesalahan apa yang telah saya perbuat hingga A sebegitu marahnya pada saya. Sungguh, saya sangat takut dibuatnya.
Selang 7 menit kemudian, adik saya F menelpon lagi. Memastikan apakah saya dijemput A atau tidak.
“oh, iya. Kakak sudah dijemput. Nanti kalau sudah sampai di rumah akan kakak kabari” jawab saya menutupi kegelisahan. Telpon saya tutup cepat-cepat agar F tak bertanya-tanya lebih jauh.
Teman saya kembali menanyakan apakah saya akan dijemput atau tidak, namun demikian ia tidak menawarkan boncengan untuk mengantar saya. Dan saya pula tidak meminta. Kendatipun ia ingin mengantar, saya cukup siap untuk mengatakan bahwa saya bisa ‘sendiri’.
“kalau memang masih ada urusan lain lagi, silahkan lanjutkan. Saya bisa kok sendiri. Saya akan menunggu di sini sampai adik saya tiba” ujar saya dengan gaya khas; senyum ketegaran.
Masih hari yang aneh, tiba-tiba HP saya sembuh di menit-menit kegusaran, kira-kira pukul 06.27 pm. Satu-persatu sms saya baca. Sembilan sms dari abang saya ‘N’. Kesemua pesan-pesannya yang bertulis dengan huruf CAPS LOCK tersebut menanyakan tentang hutang pulsa seorang teman, apakah sudah lunas atau masih terhutang. Kelihatan kalau ia sedang marah besar.
Lantas saya balas sms tersebut dengan huruf normal dan isi pesan datar, dimana jawaban mencerminkan pertanyaan. Sebenarnya kala itu, sulit bagi saya untuk mengendalikan pikiran dan mengontrol emosi. Tapi berhasil juga saya melaluinya dengan tak melakukan serangan balik. Sebab saya pikir, saya telah bertindak ceroboh karena tidak membuat tanda ‘lunas’ pada hutang yang sudah dibayar. Meskipun seingat saya, pembayaran hutang teman yang dimaksud telah sudah saya beritahukan pada abang I (yang mana beliau berniaga sebagai agent pulsa) sebelum berangkat ke Medan.
Sudahlah. Hanya human error. Pokoknya saya harus pulang.
“baiklah. Kalau begitu, saya pergi ya. Nanti kita bincangkan lagi tentang program yang akan kita jalankan” ujar teman saya seraya berlalu membiarkan saya tiga jam tanpa makan dan minum. Saya balas dengan senyuman kelegaan. Untuk orang tangguh seperti saya, dibiarkan dalam kesendirian adalah kegiatan yang nikmat. Dengan tidak sengaja saya bisa tenggelam dalam kesibukan pikiran, membaca, ber-imajinasi dan menekuri ritme hidup.
Dua puluh menit setelah teman tadi pergi, A menelpon saya, mengabarkan bahwa ia telah sampai di depan anjungan Plaza. Saya ber-sa’I keluar dari café menuju anjungan. Uuhh… kalau tidak mengingat saat itu tengah berada di ranah public, ingin saya copot high heels dan berjalan nyeker. Pasalnya high heels menghambat pergerakan saya.
Saya menelpon A, agar ia sabar menunggu karena saya lupa jalan keluar Plaza. Lagi-lagi saya dapatkan jawaban kekesalan dicampur nada emosi.
Tak lama, sampai juga saya di lantai 1 setelah terlebih dahulu nyasar kesana-kemari. Malangnya, bukannya berada di anjungan, malah saya terdampar di parkiran mobil. Saya terus berjalan mengikuti lampu yang cukup menyala. Oh ya, jika malam hari penglihatan saya kurang awas. Mata saya kabur, tak dapat melihat dalam remang dan tak lihai memandang cahaya sangat terang.
Saya telpon lagi A, meminta agar ia memutar arah menuju area belakang parkiran. Tergagap saya menjelaskan posisi berpijak. Karena saya pun tak paham sedang di mana saya saat itu. Yang saya tahu, bahwa saya masih berada di sekitar Plaza. Itu saja.
Di situlah A marah besar dan mengamuk. Hati saya sangat remuk. Di saat saya kehilangan arah, di situ dua saudara saya marah-marah. Ketegaran saya runtuh. Saya yang mengagung-agungkan prinsip ketegaran, akhirnya jatuh luruh. Airmata yang tak saya inginkan tumpah dengan sendirinya. Saya benci menangis untuk hal ini. Namun tanpa saya sadari benteng pertahanan kemandirian saya telah hancur. Bukan karena tak dijemput membuat saya menangis. Tapi karena tajamnya kata-kata dari keluarga yang (dulunya) amat saya kagumi dan saya bangga-banggakan ini, membuat saya lemah tak berdaya.
Rasanya seperti di bombardir anak panah, menghujam tepat ke ulu hati.
“adek duluan pulang saja. kakak naik becak” begitu bunyi sms saya pada A.
“tunggu di sana” jawabnya.
“duluan pulang saja dek. Kakak sudah di dalam becak” balas saya sambil menunggu becak. Tak ada lagi balasan setelah itu.
Tujuh menit setelah sms-an, baru saya mendapatkan becak dimana sebelumnya masih sama dengan saat hendak berangkat, terjadi tawar menawar harga. Deal di posisi Rp. 25.000, saya naik.
Diiringi tangis, saya berdzikir sambil berpikir. Merenungi nasib keluarga ini. Saya yang mengagumi persaudaraan kami, perlahan mulai diselimuti sangsi. Rupanya kami hebat di luar, namun tak rekat di dalam. Seperti lukisan, indah jika dilihat dari depan, berjelaga bila ditengok dari belakang. Nyatanya kami cukup rapuh, gampang tersulut, mudah terhasut, cepat berpikir semerawut. Rupanya selama ini kami hanya bersama, tapi tak ada keterikatan hati di antara setiap penghuninya.
Pedih juga, sampai air mata tak berhenti mencucuri. Becak yang saya tumpangi terus bergerak. Kadang berhenti karena terjebak macet, kadang harus berlari kencang berpacu bersama pengendara lainnya. Saling menyalip dan mendahului, persis adu balap liar yang tak terdaptar.
Cahaya bulan ditutupi awan hitam, tak lagi benderang. Membuat masa depan malam jadi terasa suram. Burung-burungpun mulai pulang ke sarang. Mereka seakan turut bersedih, ikut menyelami perasaan saya.
Saya sendiri, benar-benar merasa sendiri. Di kala itulah bayangan oknum masalalu berkeliaran di otak. Saya ingin dia di sini. Tidak untuk bercerita, hanya dengarkan saja saya bernyanyi. Meski sumbang, namun menyanyi cukup membuat hati saya riang. Dan dia tahu itu. Dia tahu saya suka bernyanyi. Dia tahu, saya (sok) tegar. Dia tahu saya selalu menyembunyikan kesedihan. Dia tahu saya suka berbohong demi menutupi kesulitan. Dia tahu caranya menghibur dan menenangkan hati saya. Ingin hati menelpon dia jika tidak mengingat pesan ayah agar saya bersumpah untuk tak lagi berkomunikasi dengannya, baik lintas provider, dunia maya, maupun kontak mata.
Saya tepis bayangan itu dengan macam ragam pertanyaan yang meloncat-loncat hadir di sekitar duduk saya. Akankah kami mampu menjaga keselarasan ini jika kelak ayah pergi? Akankah kami mampu menciptakan kedamaian? Akankah kami mampu mewujudkan harapan ayah agar tetap bersatu padu, tak menjiplak seperti perpecahan keluarga beliau? Beribu ‘akankah’ hadir di benak saya, ikut serta melintasi jalan yang saya lalui dengan becak. Semestinya saya benci membayangkan kehancuran peradaban keluarga ini. Bahkan tak pernah terbayangkan sedetikpun.
Saya berharap kekhawatiran tersebut hanyalah perasaan asing yang muncul disebabkan kekecewaan. Di samping itu, saya mendoktrin pikiran sendiri bahwa hal ini merupakan karma yang mau tidak mau harus saya tanggung, karena sewaktu ‘berkuasa’ dulu pernah saya penuh emosi pada saudara saya, baik bertindak maupun bicara. Satu-persatu karma berbalas. Hanya tinggal menunggu karma terakhir, serangan kemarahan balasan dari adik saya L.
Ya, ini adalah karma. Setidaknya begitu lebih baik daripada membayangkan kehancuran yang suatu waktu bisa muncul di depan mata.
Apapun itu, saya hanya bisa berharap pada Allah, pemilik keabadian dan takdir umat-Nya.
Pukul 07.25 pm, becak memasuki gang kecil menuju rumah saya. Orang-orang masih ramai. Mereka bercengkrama di beranda, anak-anak menghabiskan malam dengan bermain tali, ada pula seorang di sana yang duduk menyendiri di tangga ke tujuh.
Saya pun sampai pas di depan rumah, dan menyerahkan uang Rp. 25.000,- pada abang becak.
0 komentar:
Post a Comment