Tak ada yang tahu (setidaknya sebelum saya menulis kisah ini) bahwa saya menggunakan korset saat hendak berangkat ke kota tujuan. Kota yang terkenal dengan kulinernya (itu berarti sebagian besar masyarakatnya tukang makan?) sehingga setiap sele-britis yang ditugaskan ke daerah ini, pasti pingin berwisata lidah alias ngunyah. Kau tahu, hanya di Medan yang punya rumah makan dengan nama seperti ayam terlepas, ayam terzinak dan ayam terancam. Entah apa maksud pemiliknya menamai rumah makan mereka begitu.
Selama 5 jam perjalanan korset tersebut melekat di perut. Erat, rapat, tanpa sekat. Tidak ada yang bisa saya katakan selain bahwa saya telah melakukan hal tolol dan sinting sepanjang hidup.
Comerad, tentang korset ini mengapa saya pakai, bukan semata-mata karena saya ingin disebut berbodi bak jam pasir yang biasa hadir di pilem-pilem bernuansa arab. Tapi karena celana Jeans hitam yang saya gunakan, pada bagian pinggulnya tidak lagi menerima beban untuk menampung perut saya yang menggelambir.
Tapi menurut Dokter pribadi saya, dr. Elelou Canoy (Hannah), amd, cmt., praktisi chiropractic dari Anahata Wellness Center , ia mengatakan bahwa bentuk perut tergantung genetik loh. Jadi emang sudah dari sononya perut saya agak melebar. Salah satu warisan emak nih. Meski demikian, saya termasuk salah satu orang yang beruntung karena pertumbuhan perut ini masih bisa saya atasi.
Dulunya sih, kira-kira 2 bulan sebelum tulisan ini tercipta, saya masih bisa memakainya. Masih aman tanpa korset dan tanpa tahan napas. Nah, sejak saya menikmati kehidupan di rumah lah perut ini tumbuh kesamping. Kalau tidak ditahan, mungkin saja daging-daging yang menggelambir tersebut berjatuhan.
Selain itu, kegunaan korset Korset didesain bukan sekadar menahan besarnya perut atau memberikan tekanan pada pinggul, tetapi beberapa tulang yang berada di depan rusuk juga bermanfaat membentuk postur lebih tegak. Korset juga dikatakan memberikan dukungan yang cukup signifikan terhadap tulang belakang.
Keuntungan korset yang memiliki daya dukung rangka ini, kemudian dikatakan dapat mengurangi rasa sakit dan peradangan bagi mereka dengan gangguan otot ataupun gangguan tulang rangka. Itulah mengapa saya memakainya.
Beberapa hari sebelum berangkat, sudah menjadi kebiasaan saya untuk packing barang bawaan. Prepare segala ‘beban’ yang akan saya angkut ke kota sana. Baik itu buku, pakaian beserta ornamen-ornamennya, peralatan mandi dkk, alat-alat make-up cs, minyak kayu putih, hingga hal terkecil seperti permen. Bombon bahasa gaulnya.
Oh Tuhan, saya bersyukur karena telah dilahirkan dari genetik terpilih. So, kebiasaan prepare before go everywhere itu ditularkan oleh ayah. Jika akan ber-travel working, beliau selalu menyiapkan keperluannya 1 minggu sebelum berlayar. Saya kerap melihat ayah me-list dari A sampai Z barang apa yang harus ia bawa. Itu sebab selama 32 tahun berkeliling Asia Tenggara dalam rangka kerja, tak pernah ia merepotkan emak untuk meng-handle keperluannya sendiri. Atau menelpon emak untuk sekedar mengabarkan bahwa kaos kaki-nya tertinggal di atas meja makan. Atau mengirim sms agar emak me-maketkan surat-surat penting ke kantor A di negara Malaysia, misalnya. Sama sekali tak pernah terjadi. Meskipun saya tidak se-telaten ayah, tapi saya masih mengikuti gaya dan kedisiplinannya tersebut.
Selesai lah urusan packing-packing-an. Hampir bisa dipastikan tak ada satu barang pun ketinggalan. Sempurna!
Sore yang mendung, padahal tadi siang masih sangat panas. Cuaca akhir-akhir ini pas sekali dengan lagu Katy Perry dalam Hot n Cold. Kira-kira liriknya begini: ‘Cause you're hot then you're cold..’ syalalala syalala.. (silahkan comerad googling jika penasaran). Namun tekad saya untuk segera berangkat sudah bulat. Karena ada beberapa hal harus segera saya selesaikan. Sore itu, saya mengenakan sweater pink dipandu korset di dalamnya, jeans hitam, dan kerudung ungu. Jadilah saya ke stasiun kereta api diantar adik saya Lili.
Sesampainya di stasiun, saya membeli tiket tujuan Medan. Kemudian saya bergegas naik ke kereta mencari tempat duduk yang telah dituliskan di tiket: Gerbong 3, seat number 19 A, posisi 3-3. Artinya dalam 1 kompartemen, 3 penumpang duduk berhadapan dengan 3 penumpang lainnya. Saat itu penumpang sangat ramai dan berdesakan. Maklum, baru tiga hari berlalu sejak tanggal 1, hari pergantian tahun.
Saya sengaja memilih duduk dekat jendela. Alasannya sih simpel. Saya tak suka berada di ruang kecil dan tertutup, ramai dan padat minim pentilasi.
Detik demi detik di dalam kereta saya mulai merasakan ketidaknyamanan di sekitar perut. Rasanya seperti permen nano-nano. Seperti kejang, digelitik, gatal dan panas. Parahnya jika gatal terasa. Karena ada korset menghalangi, otomatis saya tidak bisa menggaruk daerah gatal tadi. Ingin menangis, saya malu. Ntar dikirain patah hati. Mau ke toilet membuka korset, jangan harap. Bergerak saja pun susah apatah lagi melenggang menuju toilet. Sebab di gang kereta, ramai penumpang duduk beralaskan koran, berdesakan, berhimpitan. Mau membukanya di kompartemen, masalahnya saya ini masih menganut paham ketimuran.
Tololnya, saat berangkat menuju stasiun kereta, tak pernah saya terpikir tentang korset ini. Sebab yang ada dalam kepala saya masih seputaran itu-itu juga: 'kapan buku saya bisa diterbitkan', 'ntar lagi umur saya 27 tahun, saya ini kok belum bermanfaat buat orang banyak', 'saya ingin melanjutkan studi sampai mati, dan menyalurkan ilmu sampai akhir hayat hingga (kalau ada) dibangkitkan kembali'.
Mau tidak mau, saya teruskan menikmati penderitaan korset tadi selama 5 jam plus 1 jam sampai rumah. Kebodohan yang tak disengaja ini juga hampir menewaskan hati nurani saya. Di saat saya bergumul dengan penderitaan, di situ ada seorang emak-emak, gendut pula, numpang duduk (baca: memaksakan diri) di samping saya. Padahal dia sudah melihat dengan mata kepala sendiri betapa sempitnya tempat duduk itu. Dimana seharusnya diisi 3 penumpang, malah digenjot melebihi kapasitas: satu orang emak-emak gendut yang mana menurut perhitungan biro pusat statistik mereka ini dikira dua.
Kepala saya yang sudah panas karena efek korset, berada pada titik didih. Kalau tidak mengingat saya ini memakai kerudung, sudah saya tendang pantatnya. Akhirnya dengan sangat terpaksa dan berat hati, saya pun duduk berhimpitan dengan emak-emak tersebut sambil menekan-nekan kekesalan yang teramat sangat.
***
Malam semakin pekat. Badan semakin penat. Mata semakin berat. Sudah sangat terlambat bagi saya untuk beristirahat karena memikirkan besok masih harus menuntaskan pekerjaan. Biarlah korset tersebut abadi dalam lemari. Kelak, akan saya kenakan juga sesekali sebagai penyangga otot perut dan penahan nafsu makan. Tragedi korset itu, akan menjadi pelajaran bagi saya untuk lain hari agar pintar-pintar menggunakan sesuatu pada waktu, tempat dan keadaan.
0 komentar:
Post a Comment