c'mon comrade

Wednesday, January 11, 2012

D’ Loft without Love

Sudah begitu akrab di telinga bahwa kota Medan disebut-sebut sebagai surganya para pencinta kuliner. Sampai-sampai setiap selebritis (entah apa bedanya dengan artis) yang ditugaskan ke Medan, pasti meninggalkan jejak ‘kuliner’ di kota ini. Mulai dari pancake durian, bolu Meranti, Bika Ambon, Ikan teri Asin, soto, hingga berbagai jenis masakan nusantara bisa di dapatkan di Medan.

“Rasanya benar-benar menggoyang lidah” begitu pernyataan salah seorang penyanyi ibukota.

Beberapa hari lalu, saya diajak ketemuan sama seorang rekan di Thamrin Plaza Medan. Tempatnya di café D’ Loft. Seumur-umur, baru sekalinya saya menapak di café tersebut. Kalau ke Thamrin Plaza-nya sih sudah kali kelima. Itupun hanya numpang lewat karena mau take a pict, beli baju Nike yang lagi sale, dan nonton di bioskop on private party bersama dua orang teman perempuan.

Nah, café D’ Loft ini tampaknya telah memikat hati saya. Meski rame, tapi suasananya cukup cozy untuk makan dan mingle. Letaknya di lantai 7, posisinya agak menjorok ke belakang, dan ada jendela kaca transparan di sisi kanan (sisi kanan persis saat kita masuk ke dalamnya).

Rupanya rekan saya tadi sampai lebih dulu. Ia mengambil meja di sisi kanan dekat jendela kaca. ‘Punya taste bagus juga si kawan ini,’ gumam saya dalam hati. Saya menyapanya sambil menyedekahkan sebaris senyum. Ini pertemuan pertama kami, -saya dan beliau- setelah sebelumnya kami chit and chat di ranah maya. Facebook namanya. Tak sekedar kopdar (kopi darat), ada agenda dan program penting yang akan kami tindaklanjuti seperti yang telah pernah kami bincangkan di sms.

Seperti yang telah saya katakan tadi, café D’ Loft ini menarik perhatian saya sejak melangkahkan kaki pertama hingga beranjak dari duduk. Paling menggoda adalah jendela kaca transparan itu. Kebetulan, posisi duduk saya menghadapnya. Jadilah saya begitu asik memperhatikan kota Medan di atas ketinggian.

Langit berwarna kuning kemerahan, bias dari matahari yang menghilang di bawah garis cakrawala di sebelah barat. Saya bisa menyaksikan langit senja yang mulai ditingkahi awan hitam, sekawanan burung gereja berarak pulang, dan satu persatu kelelawar bermunculan.

Di sana, pemandangan sederhana bisa saya saksikan. Ada jemuran yang masih menggantung padahal cuaca saat itu sedang gerimis tipis, menara SUTET yang sering dijajal para pemanjat amatiran, taman buanga sederhana milik etnis Tionghua, dan sampah bertumpuk di sudut kiri beranda.

Tempat yang seharusnya asik untuk santai dan bercengkrama. Apalagi jika dihabiskan dengan menulis imajinasi. Sudah bisa saya bayangkan betapa kerennya bila saya berada di sana pada saat yang tepat, dan sendiri tentu saja.

Sepertinya, setelah agak lama saya duduk di sana, ada sesuatu yang sejak tadi mengusik ketertarikan saya. Semangkuk es campur yang isinya telah tandas dimangsa berbanding terbalik dengan keadaan saya yang dahaga selama 3 jam duduk bersama. Si kawan ini sekalipun tidak menawarkan saya sesuatu untuk dikunyah. Bukan berarti saya tidak bisa mengambil/membayar makanan sendiri, hanya saja saya tidak rela jika memamahbiak di depan seseorang, dan ia hanya bisa menyaksikan sambil menelan ludah.

Akhirnya, selama tiga jam di café D’ Loft saya lalui dengan percuma. Bicara tak ter-skema, dan keadaan seperti puasa.

***

Medan-Jakarta: via social media di suatu ketika

'(gak semua yang lo dengar itu benar)'

“nanti kita ketemuan di Medan ya, Def” saya tahu, dari balik suaranya mentakrifkan bahwa ia girang hendak bertemu saya.

“boleh saja. Dimana?” tanya saya.

“Def mau di mana?” jawab beliau.

“mana saja boleh” tulis saya cepat sambil menambahkan tanda bintang: *asaltidakditempatmaksiat*

“hahahaa…” ia tertawa, dan sepuluh detik kemudian tertulis di sana kalimat panjang, “di Swiss Bell Resto, di Thamrin Plaza, di Sun Plaza, di Nelayan Merdeka Walk, di TransJakarta, atau di tempat manapun yang Def mau, akan saya laksanakan. Kalau ke bulan disediakan pengangkutan dan tempat makan, saya pun akan membawa orang sekeren Def kesana.”

Saya terkesiap mendengarnya. Mendesir darah muda saya dibuat si kawan ini. Padahal belum bertemu, sudah berani pula ia menjanjikan macam-macam. Apa tak terlalu gombal?

***

Medan-Johor: nomor 22

Penat. Termangu saya mengingat-ingat tragedi di cafe D' Loft tadi. Entah apa salah saya pada alam. Setiap bertemu kenalan baru, seringkali saya dihadapkan pada kenyataan bahwa orang-orang pelit bin kedekut rupanya masih ada di muka bumi.

Tuhan, Salah saya apa ya… Padahal jika kebaikan itu dimatematiskan dari 1 sampai 10, saya ini berada di urutan ke-7 lohh… Cukup penyantun di kalangan para kawan dan kolega.

1 komentar:

Anonymous said...

Mbak.. lucu sekali postingan ini. saya senyum-senyum sendiri di meja kerja. ke medan lagi deh mbak, ntar saya temeni makan di d'loft :)

Post a Comment

 
Free Host | lasik eye surgery | accountant website design