Hai desember…
Long time not share…
Bukan sengaja melupakan, hanya saja Dell mengulah lagi sehingga tak sempat menuliskan. Oh, sekarang saya di warnet depan rumah, berburu waktu agar nominal billing tak banyak bertambah. Tentunya, godaan terberat saja adalah Nancy Ajram dengan suaranya yang centil dan melenakan, disertai goyangan belly dance yang aduhai, lumayan menggoda iman hingga sering saya tak sadar bergoyang sendirian.
Dari banyak kisah, telah saya pilih pilah, inilah cerita pertama saya untuk tengah Desember. Cerita istimewa dari berpuluh kisah dalam kepala dimana semuanya menyeruak ingin tampil ke permukaan. Boleh-boleh saja jika telah membacanya, sebagian orang akan mengatakan biasa saja. Komentar apapun itu, saya selalu siap menerimanya bahkan sebelum lahirnya tulisan-tulisan saya. Sebab saya percaya hukum popularitas seorang penulis bahwa, tulisan akan menemukan nasibnya sendiri.
Well, read it out mate…
Buku yang sedang saya baca saat ini adalah Catatan Hati Seorang Istri (CHSI), salah satu karya best seller-nya Asma Nadia. Sebenarnya buku ini biasa saja. Berkisah tentang perempuan-perempuan dalam menjalani lika-liku kehidupan keluarga. Bagaimana mereka menghadapi perceraian, sabar ketika mendapati sikap suami yang berubah 180 derajat, dan berbagai kisah lainnya. Haru, seru, dan menyenangkan. Well, saya cukupkan saja sampai di sini, sebab saya bukan hendak men-sinopsis buku ini. Hanya intermezzo saja, agar cerita selanjutnya lebih mudah dicerna.
Bukan termasuk buku favorit sih, tapi saya suka membaca pengalaman demi pengalaman yang mereka tuangkan dalam sebuah tulisan. Sudah dua kali buku ini saya baca. Selain bahasa dan tutur katanya indah, saya juga bisa belajar mem-planning ‘keluarga’ saya kelak, meskipun rencana selalu jauh berbeda dari wujud nyata.
Kemudian, datanglah sosok yang ‘hobi’ mengkritik. Beliau, ayah saya. Ada saja hal yang ia bantah terlebih pasal pilihan hidup. Padahal sejak zaman nabi Adam, sah-sah saja orang berbeda pilihan sekalipun masih dalam 1 klan.
“buku apa nih?” Ayah membolak-balik buku CHSI yang saya letakkan di atas meja. Pandangannya sinis, bibirnya mengerucut, kemudian keluarlah keritikan pedas yang pedasnya melebihi sambil terasi. “buku yang dibaca tuh harus yang berbobot, bukan yang beginian” ujarnya seraya melempar buku tersebut ke atas meja. “gak menambah pengetahuan!”
Ya, begitu saja. Kalau saja ia orang lain, ingin rasanya meninju wajahya sampai lebam. Sayangnya, pada siapupn perlakuan kasar itu tak dibolehkan. Saya hanya tersenyum dan berusaha tenang di depan ayah. Sebab tak hanya buku CHSI saja yang pernah beliau kritik. Kalau tidak salah, ada 10 buku yang pernah ia komentari. Ada saja komentar yang ia lontarkan. Mulai dari pengarang, cover, judul, halaman, terlebih lagi isi.
“Buku itu hadiah dari kawan lama, ayah”. Dengan berat hati sebenarnya saya mengucapkan kalimat bohong barusan. “ Jadi selagi gratis, tampung saja lah. Untuk koleksi”.
Ayah tak bergeming, kemudian berlalu pergi.
Ucapan ayah saya buang ke tong sampah meski jauh di lubuk hati sempat hadir rasa marah. Bisa saja saya menggunakan kalimat keras pada ayah. Karena itu buku saya, saya yang membeli, saya yang memiliki, otomatis, sayalah yang berhak memperlakukan buku tersebut semau saya. Tidak seorangpun yang boleh mendzolimi hak saya selagi itu tak mengganggu dirinya dan khalayak ramai. Bisa saja saya mempertahankan ego, utuk membela buku tersebut mati-matian demi harga diri, dan demi memperjuangkan prinsip bahwa saya tidak suka dizholimi.
Namun hak akan gugur dengan sendirinya jika kau berhadapan dengan prinsip menyenangkan orang tua.
Karena saya sayang ayah. Beliau lah penuntun lembar pertama kehidupan saya, setelah emak tentu saja. Beliau mengajarkan saya banyak hal. Beliau memaksa saya untuk selalu berpikiran ‘cerdas dan kaya’. Beliau pula yang menyadarkan saya untuk banyak membaca. Sehingga saya sampai pada kesimpulan, apalah arti sebuah buku jika kemudian saya hanya menyakiti perasaan ayah, meski beliau berada pada posisi SALAH. Apalagi, tak guna memperdebatkan hal remeh temeh yang tak begitu berpengaruh dalam gerak dan langkah.
Tapi bukan berarti saya dan ayah tak pernah berselisih paham. Ada saat dimana saya dan ayah bersitegang urat leher tentang analisis politik dan pemerintahan, tentang prinsip agama, juga tentang menentukan sikap membela Angelina Sondakh atau Nazaruddin. Namun tetap saja saya lebih banyak menekan ego berdiri lebih tinggi.
Ini memang tentang rasa dan kebebasan berpendapat, kawan. Tapi bagi saya jika berhadapan dengan orang tua, lebih utama adalah penghormatan.
0 komentar:
Post a Comment