Kedekatan kami berawal dari Partai Gerindra. Bisa dibilang fighter setia. Sebab kami membentuk, membangun dan mengembangkan partai yang dikomandoi oleh Prabowo Subianto ini ke arah lebih baik, solid, dengan gegap gempita dan suara membahana di Sumatera Utara.
Kami lebih sering bertatap muka dalam skope pekerjaan tentu saja. Saya sebagai pengurus Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Sumatera Utara, dan beliau bercokol di Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Tebing Tinggi. Otomatis saya disibukkan dengan urusan surat-surat, spanduk, baju kaos, buku saku AD/ART, bendera, hingga hal-hal terkecil seperti nomor telepon dan alamat pengurus-pengurus partai di 28 kabupaten/kota se-Sumatera Utara.
Berhubung di awal pendirian Gerindra saya dalah perempuan tercantik (kala itu saya perempuan sendiri, sisanya lelaki politisi yang juga penggombal sejati), katanya, ia lebih bahagia berurusan dengan saya.
“kalau berurusan dengan Dinna itu lebih enak. Karena lebih teliti, cepat, rapi dan disiplin”, ujarnya ketika saya mencari SK DPC Tebing Tinggi di tumpukan file cabinet. “kalau Dinna gak ada, abang defend lah semua urusan”
“gak dirayupun Dinna akan tetap membereskan semua keperluan DPC TebingTinggu” jawabku sedikit tak peduli sembari masih tenggelam dalam kesibukan.
“sumpah Dinn. Abang gak menggombal”.
“oh, SK-nya ada nih” saya mengalihkan pembicaraan. Lagipula SK DPC Tebingtinggi sudah ada di tangan saya. “Hendrik Pulungan, Ketua DPC Partai Gerindra TebingTinggi, dan semua nama yang tertera di bawahnya sesuai dengan usulan pergantian kepengurusan baru kemarin”.
Beliau, bang Hendrik Pulungan, mengambil SK revisi dari tanganku. Ia mengamati SK tersebut sambil manggut-manggut. Sesekali ia tersenyum, namun sejurus kemudian dahinya berkerut.
“ada pertanyaan, keluhan atau keberatan?” tanyaku.
“oh, nggak Dinn. Cuma sedikit saja. Di depan nama abang kok gak ditaruh titel nya ya?”
“titel apaan? Insinyur atau Sarjana gitu?"
“bukan. Tapi Haji”.
Saya terkesiap mendengar pengakuannya. “ini serius apa bercanda sih bang? Dinna juga sudah naik Haji tapi di SK titel itu sengaja tidak Dinna letakkan”.
“bercanda kok. Jangan diambil hati ya Dinn” ujarnya sambil tetawa. Entah dimana lucunya, ia tertawa bahagia sampai susah berhenti. Setelah itu ia menyodorkan lemang dan kue kacang khas Tebingtinggi pada saya. “buat Dinna, bukan sogokan, tapi karena telah banyak membantu abang selama ini”.
Memang, semua urusan administrasi diserahkan oleh pimpinan pada saya, dimana saya juga merangkap jabatan sebagai bendahara. Repot juga, tapi demi tugas dan tanggungjawab, saya senang-senang saja melaksanakan keduanya. Capek sudah pasti, tapi karena mengingat ini jalan saya, maka saya melakukannya dengan suka hati. Apalagi ketika beliau datang, saya selalu disuguhi lemang (penganan yang terbuat dari pulut) dn kue kacang. Bertambah ringanlah pekerjaan saya.
Tak banyak cerita antara saya dan beliau. Kedekatan kami biasa saja, sama halnya dengan fungsionaris partai lainnya. Namun saya sangat hormat dengan bang Hendrik. Beliau adalah sosok sederhana, low profile kalau orang Inggris bilang. Beliau juga ramah, santai, suka berkelakar, bersifat tangan di atas, dan cukup relijius. Kekurangannya hampir tidak ada. Begitupun, komentar saya ini tidak jauh berbeda dengan kawan-kawan di ranah politisi dalam dan lintas partai.
Istri beliau juga ramah, baik dan menyenangkan. Ketulusan yang mereka berikan terpancar dari seluruh anggota keluarga. Saya merasakannya sewaktu sosialisasi ke simpatisan di Tebingtinggi, saya dan beberapa fungsionaris Gerindra meyempatkan diri bertandang ke rumah beliau. Sungguh, beliau adalah cerminan orangtua yang peduli dan dekat pada keluarga.
Dan sampailah saya pada bisik-bisik tetangga, bahwa mesjid yang berdiri tak jauh dari rumah beliau adalah mesjid umum yang sebagian besarnya dibangun dari ‘hasil keringat’ beliau. Perkara beliau mendapat uang darimana, saya tidak tahu dan tak mau tahu. Sebab penilaian amal ibadah adalah hak Allah. Bukti tersebut saja sudah cukup bagi saya bahwa ada tersimpan butir-butir kebaikan dalam diri beliau.
Meski begitu, tak sedikit kabar miring mengalir pada beliau. Tentang beliau yang serakah kekuasaan, hobi menukar-ganti pengurus, tidak tegas, tidak peduli dan lain sebagainya. Kodratnya demikian. Semakin tinggi pohon, maka semakin kencang angin menerpa. Biarlah selentingan tersebut pupus dihapus embun pagi.
Tiga hari lalu, saya ditelpon oleh bang Hasan Basri, mantan ketua DPC Partai Gerindra Pematang Siantar. “assalamualaikum Dinn, bang Hendrik Pulungan meninggal kemarin sore. Tidak sakit, tapi beliau meninggal tiba-tiba.Tolong dikabarkan pada kawan-kawan yang lain ya” tergagap bang Hasan Basri mewartakan berita kepergian itu. Tak sempat saya menata hati, bang Hasan pun menutup telpon meninggalkan saya dalam diam.
Sedih rasanya ketika mengetahui bahwa bang Hendrik telah pergi. Saya tak percaya, namun kenyataan berbicara. Semua kenangan tentang beliau, satu demi satu kembali menjelma. Belum usang. Sebab saya adalah pengingat yang baik. Laku beliau terjalin rapi dalam sel saraf, membentuk simpul dan terikat erat. Saya tahu Allah lebih sayang pada beliau.
Cerita langit telah sampai pada bab terakhir. Sosok berkelakar dan sederhana itu telah pergi kini. Meninggalkan sekelumit kisah singkat yang indah.
Selamat jalan bang H. Hendrik Pulungan. Semoga Allah memberi sebaik-baik tempat, dan selalu mencurahkan rahmatNya pada keluarga yang ditinggalkan. Saya, kami semua, menyayangi bang Hendrik..