Tiap kali surfing ke situs jejaring sosial, sering aku temukan kata ‘galau’ bertebaran. Meski bukan bahasa baru dan prokem, namun ternyata ‘galau’ sudah di gaulkan. Dipaksakan hadir dalam banyak kesempatan sesering munculnya iklan sirup Marjan ketika akan masuk bulan Ramadhan. Rupanya aku ketinggalan informasi. Padahal menurut temanku, istilah penggaulan kata ‘galau’ ini sudah lama terjadi, kira-kira dua bulan lalu saat ia bermain-main di ibukota.
“kok aku baru dengar ya, Fan?” keningku berkerut menanyai Irfan, teman baikku saat sama-sama kuliah di universitas ber-flat merah.
“karena kau gak pernah ke luar rumah kali Na?” buatku, jawabannya itu memberikan kesan seakan-akan aku adalah seorang Nazaruddin yang tak keluar dari persembunyian sebab takut tertangkap Partai Demokrat dan kawan-kawan.
“kau ini. Aku kan wartawan Fan. Dan lagipula, aku banyak kegiatan di luar rumah”, jawabku. Tapi sungguh, kata ‘galau’ ini tak pernah kutemukan. Kucari-cari di kolong rumah saat beres-beres menjelang bulan puasa, namun ‘galau’ tak ada. Kubongkar isi lemari saat hendak menyumbangkan sebagian isinya ke Panti agar dapat pahala, tapi ‘galau’ juga tak ada. Konon lagi di dalam tas, aku yakin memang tak pernah ada. Karena tasku isinya notes kecil melulu, untuk wawancara dengan narasumber yang rata-rata pelit itu.
“tak tahu juga Na. Tapi di Jakarta sedang musim galau”, sebut Irfan. Kemudian dengan cekatan Irfan merampas Sari Roti dari tanganku. Kupikir, ada bakat juga temanku ini menjadi koruptor karena ia mengambil harta yang bukan haknya. “maksudku, ‘galau’ udah jadi trend” ralatnya.
“tapi, tahukah kau siapa yang menggaulkan ‘galau’ ini Fan?” tanyaku masih penasaran. Kau tahulah, aku ini tidak suka bila ketinggalan informasi. “sebab aku heran saja, kenapa kau bilang sudah trend dan banyak pula pengikutnya”.
“tak tahulah. Usah kita bahas lagi, tak penting”.
“tapi kalau tak penting, mengapa banyak yang mengikutinya sampai-sampai terkesan dipaksakan? Karena sering aku dengar kawan-kawanku menyebut ‘galau’ itu meski tak ada sangkut pautnya dengan apa yang mereka ucapkan sebelumnya”. Aku masih heran plus penasaran.
“begitulah masyarakat kita Na. Efek sudah sakit. Suka mengikut yang tak perlu, suka pula membesar-besarkan yang tak penting. Tak ada manfaatnya sama sekali. Mungkin berharap disebut keren. Aku pun hanya mendengar saja dari mereka”. Firasatku Irfan sedang membela diri.
“kalau memang mendengar saja, tapi mengapa pula akhir-akhir ini kau sering menuliskan ‘galau’ itu di facebook-mu, Fan? Aku tahu itu, karena di facebook-mu lah kali pertama aku temukan ‘galau’ itu.”
“aku cuma ngikut saja Na. kau taulah, nanti dibilang gak gaul”. Ia menjalankan cursor bentuk ikan di leptop Acer-nya.
“berarti kau sakit juga, Fan?” desakku.
“bahh, kau ini. Sudahlah. Kita bicarakan saja yang lain”. Irfan tersenyum sambil men-delete satu persatu tulisan pada dinding FB-nya yang bertuliskan ‘galau’. Benteng pertahanan ‘galau’nya runtuh seiring terdesaknya ia pada tembok pembelaan yang ia bangun sendiri.
“Baiklah”. Jawabku pasrah. Untung saja Irfan seorang yang humorist dan tidak sombong. Jadi cukup aman jika aku meneruskan pertemanan dengannya. “Fan, pernahkah kau disuntik imunisasi?” tanyaku mengalihkan cerita ‘galau’ karena aku tahu tak perlu diperpanjang lagi, sebab aku sudah yakin bahwa aku bicara dengan orang sakit.
“ya pernahlah. Imunisasi itu kan penting buat tubuh agar kebal terhadap penyakit seperti polio, demam step dan lain-lain”. Jelas Irfan singkat.
“Fan, kau tahu Ayahku yang luarbiasa pemarah itu kan?”
“Iya. Yang dulu aku pernah diusirnya gara-gara menjemputmu untuk pesta kampus kan?”
“sukurlah kau masih ingat. Aku, sangat bersyukur karena Allah telah memilihkan beliau menjadi Ayahku”.
“maksudmu?”
“aku dan ke-10 adikku, tak pernah di vaksin atau suntik imunisasi. Dan alhamdulillah kami semua baik-baik saja. Ayah selalu menekankan pada almarhum emakku agar kami tak ikut-ikutan ke Posyandu untuk suntik-suntik itu”. Kumasukkan potongan roti terkahir ke dalam mulutku.
“karena Ayahmu tak gaul” cerocosnya.
“dan aku bersyukur sebab beliau tak gaul dalam hal ikut-ikutan. Itu sebab beliau tak pernah luntur dimakan zaman, analisanya tak terbantahkan” gantian aku yang memandangi Irfan.
“kata Ayah, kami tak perlu imunisasi dan kawan-kawannya. Sebab ketika Tuhan ciptakan, kami sudah sangat sehat. Cukuplah saja memakan hasil alam nan halal.” Aku tahu Irfan hendak membantah ucapanku. Maka aku teruskan bicara. “kami dididik untuk tampil beda Fan. Kami diajarkan agar tak sembarang mengikut apa-apa yang kami tidak benar-benar ketahui tentangnya dan terlebih tak ada pula manfaatnya”.
Lalu kutunjukkan padanya sebuah artikel yang membahas tentang vaksin dan imunisasi. Pelan-pelan ia baca kalimat demi kalimat di layar laptop. Sayup-sayup kudengar ia berkali-kali mengucap asma-Nya. Kulihat ia terperangah dan salah tingkah. “kau boleh tak setuju dan membantah, Fan. Sebab kita bukan lagi hidup di zaman Orde Baru, di mana segala sesuatunya harus izin mereka yang berseragam kuning itu”.
Kutinggal Irfan sendiri di meja cafetaria. Membiarkan ia hanyut dengan pikirannya yang aku yakin di sana berkelebat pertanyaan-pertanyaan yang hendak ia ajukan. Atau juga bantahan? Tak tahulah. Dan aku juga tak memaksa ia membetulkan artikel itu. Sebab sebelum artikel itu tertulispun, Ayahku yang pemarah namun lembut hati itu, tak membiarkan kami menjadi orang kebanyakan yang senang ikut-ikutan!
Monday, July 25, 2011
sakit karena ikut-ikutan
Posted by Dinna F. Noris on 11:14:00 PM
0 komentar:
Post a Comment